Kamis, 22 Januari 2009

SINKRONISASI PEMBELAJARAN SENI RUPA DAN KOMPUTER

Oleh Widdy Endrayanto
Guru Yayasan UK Petra

Abstrak
Anticipation education is education which cares of self optimum by continuing evaluation and development. The school should ask the teachers to continue study not only one subject. Synchronization system is very effective for teachers to supply the student’s knowledge, skill and ability. Hopefully the student can be motivated by this system. Example for synchronization implementation is to bundle of art lesson which have art principles with the computer lesson which have graphic design tool.
Key Word: Synchronization, The rules of the art, Graphic design, Creativity.


Pendahuluan
Pendidikan menyiapkan generasi penerus menjadi lebih baik dari generasi sekarang. Saat ini kita semua berada di era globalisasi. Suatu era yang padat dengan interkoneksi antara informasi, kecepatan, kompleksitas, dan ketidakpastian. Maka mereka dituntut memiliki kemampuan yang lebih, kreatif dan profesional. Untuk hal itu, pendidikan harus mampu menyiapkan generasi yang mampu menjawab tantangan kehidupan secara kritis dan kreatif berdasar bakat, minat serta bidang ketrampilan yang ditekuni siswa nantinya.

Sekolah merupakan wadah strategis dalam menyiapkan generasi yang berkualitas. Berbagai mata pelajaran disajikan guna membekali siswanya dalam mengantisipasi tuntutan zaman. Salah satu mata pelajaran yang sangat dekat dengan teknologi informasi adalah komputer. Lalu, setelah komputer adalah mata pelajaran seni rupa. Dimana seni rupa dapat diaplikasikan dengan menggunakan perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Banyak sekali software yang menggunakan aplikasi seni rupa. Diantaranya software photoshop, coreldraw, clipart.

Perkembangan teknologi dan informasi menghasilkan suatu media baru yaitu internet. Dimana internet memungkinkan mengajak semua orang melihat situs web milik orang-orang di semua belahan bumi. Sekaligus internet mendorong seseorang memiliki situs web sendiri. Sehubungan bahwa web dapat dipakai sebagai media komunikasi dan promosi, maka penampilan web harus enak dipandang mata. Sehingga web yang menarik adalah web yang tidak melulu menggunakan teks. Tetapi web yang menggunakan tampilan visual akan lebih meningkatkan daya pikat pengunjung web tersebut. Walaupun begitu, dalam kasus tertentu, seringnya suatu web dikunjungi oleh pengunjung tidak semata-mata karena tampilan visual yang menarik. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pengunjung yang lebih mengingat kata-kata atau frase kalimat dalam mencari suatu web lewat mesin pencari (search engine). Pengunjung jarang sekali atau bahkan masih kesulitan ketika mencari sebuah web melalui gambar (image). Yang sering terjadi adalah, mencari situs web melalui judul (title) gambar.

Sinkronisasi Pembelajaran
Menyadari kondisi sekarang ini bahwa keterkaitan mata pelajaran satu dengan mata pelajaran yang lainnya tidak dapat dipisahkan secara mutlak, maka perlu suatu langkah strategis dalam menyiasatinya. Sinkronisasilah jawabannya. Dimana pembelajaran mengusahakan keterkaitan antar mata pelajaran agar diperoleh penguasaan materi secara utuh.

Salah satu contoh, sinkronisasi antar mata pelajaran yang saat ini sangat diperlukan adalah mata pelajaran teknologi informasi dengan pelajaran seni rupa. Dimana seni rupa dapat diaplikasikan dengan menggunakan perangkat keras (hardware), maupun perangkat lunak (software). Banyak sekali software yang menyediakan aplikasi seni rupa. Diantaranya software photoshop, coreldraw, clipart. Perkembangan teknologi dan informasi, mengajak semua orang memiliki situs web. Hal mana web yang menarik adalah web yang tidak melulu menggunakan teks. Tetapi web yang menggunakan tampilan visual, lebih meningkatkan daya pikat pengunjung web tersebut.

Pihak guru dan siswa perlu bekerja sama dalam pelaksanaan sinkronisasi ini. Sebagai sumber daya manusia, guru harus selalu mau belajar. Kalau beberapa waktu lalu guru mungkin hanya memiliki satu bidang kemampuan saja, sekarang melalui sinkronisasi, guru diharapkan dapat mengembangkan kemampuannya yang lain.

Pada kesempatan lain, kurikulum, silabus, dan perangkat pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang menunjang terlaksananya sinkronisasi. Saatnya kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan dengan melihat situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan di mana siswa belajar.

Prinsip-prinsip Seni
Dalam kajian seni, pendekatan yang menekankan intuisi, dan akal sehat saja dari peserta didik belum menjamin terpecahkannya sebuah permasalahan. Namun ada kalanya akal sehat yang disampaikan dengan argumentasi yang meyakinkan dapat pula diterima sebagai kebenaran. Aristoteles adalah orang pertama yang secara sistematis menyelidiki hakikat dan metode ilmu pengetahuan serta melihat ilmu falsafah sebagai logika, fisik, dan etik. Ia dianggap sebagai bapak logika, karena pertama kali menggunakan cara berpikir yang teratur dalam suatu sistem (Widagdo, 1993:32-34).

Berdasar pemahaman atas keteraturan itu, maka dalam menghasilkan karya seni, ada beberapa prinsip seni yang perlu diperhatikan, antara lain:
1. Kesatuan. Prinsip kesatuan, menghendaki adanya kekompakan dari masing-masing komponen dalam sebuah karya seni. Kesatuan ini menciptakan suasana solid dan terpadu. Karya seni yang memperhatikan prinsip kesatuan tersebut akan memiliki kesan keutuhan.
2. Keseimbangan. Prinsip keseimbangan, menghendaki agar suatu karya seni memberim kesan seimbang antara sisi satu dengan sisi yang lain, atau bidang satu dengan bidang yang lain secara proporsional. Kesan seimbang bisa dicapai melalui pengaturan warna, tekstur, serta unsur seni rupa yang lain.
3. Keharmonisan. Prinsip keharmonisan, menghendaki adanya keserasian atau keselarasan dalam suatu karya seni. Keharmonisan tersebut bisa dicapai melalui penyusunan unsur-unsur seni rupa secara padu.
4. Ritme. Ritme, menghendaki agar suatu karya seni ada kesan bergerak. Gerak ini akan memberi kesan dinamis dan hidup pada karya seni.
5. Emphasis. Emphasis, menghendaki agar suatu karya seni memiliki pusat perhatian. Pusat perhatian tersebut dapat dimunculkan dengan berbagai cara penyusunan atas unsur-unsur seni.

Pembuatan Situs WEB
Salah satu mata pelajaran yang sangat dekat dengan teknologi informasi, selain komputer, adalah pelajaran seni rupa. Dimana seni rupa dapat diaplikasikan dengan menggunakan perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Banyak sekali software yang menggunakan aplikasi seni rupa. Diantaranya software photoshop, coreldraw, clipart.
Perkembangan teknologi dan informasi, serta pesatnya dunia internet, mengajak semua orang maupun korporasi memiliki dan mengelola situs web. Web sebagai suatu sarana promosi diri maupun lembaga, sangat efektif dalam mengkomunikasikan berita ke seluruh dunia. Oleh karena itu web dituntut tampil menarik. Adapun web yang menarik adalah web yang tidak melulu menggunakan teks, tetapi web yang juga menggunakan tampilan visual. Hal itu akan lebih meningkatkan daya pikat (perhatian) pengunjung web tersebut.

Intinya, bahwa pembuatan sebuah web memerlukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Adanya Domain. Domain, bagaikan sebuah toko dimana kita menjual berbagai produk dan jasa.
2. Adanya Hosting. Hosting, bagai plaza di mana domain berada. Jadi hosting merupakan tempat berkumpulnya domain-domain.
3. Adanya Theme (layout). Layout, merupakan suatu pengaturan komposisi yang tersusun atas beberapa topik isian.
4. Adanya Content/ Isi. Isi, merupakan berita utama yang hendak disajikan agar dibaca oleh orang lain, ketika orang lain membuka web tersebut.

Hal lain yang perlu diperhatikan, bahwa sebuah web dapat ditayangkan baik dengan cara didaftarkan ke penyelenggara hosting secara gratis maupun secara berbayar. Biasanya, dalam dunia bisnis, web yang telah dibuat disarankan agar didaftarkan ke penyelenggara hosting secara berbayar. Hal itu demi profesionalisme layanan. Para guru yang baru belajar, bisa memulai membuat web dan mendaftarkan secara gratis dulu ke penyelenggara hosting.

Proses Kreativitas
Secara operasional, kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan berpikir atau memberi gagasan secara lancar, lentur, dan orisinil, serta mampu mengelaborasi suatu gagasan (Munandar, 1987:47-50). Elaborasi adalah kemampuan untuk mengembangkan, merinci dan memperkaya suatu gagasan (Utami Munandar dalam Kiswandono, 2000).

Pengertian kreativitas tersebut dapat diterapkan pada kemampuan guru dalam menajalankan proses pembelajaran. Harapannya bahwa metode pembelajaran apapun yang digunakan oleh seorang guru, seyogyanya harus melibatkan unsur-unsur dalam proses kreativitas. Jika tidak demikian, maka pendidikan itu dianggap gagal. Gagal karena tidak memberi kesempatan kepada individu mengoptimalkan daya juang demi peningkatan kemampuan yang ada pada dirinya. Baik dalam bernalar, berasa, maupun bertindak.

Melalui sinkronisasi terhadap dua mata pelajaran atau lebih, merupakan upaya nyata dari guru untuk melakukan proses kreatif sekaligus rekreatif. Kejelian guru mengamati suatu masalah pembelajaran, mendayagunakan pengetahuannya, mengoptimalkan sarana dan fasilitas yang ada, merupakan cerminan guru yang berjiwa pembelajar. Sangat diharapkan antar guru dapat menjalin dan mengkondisikan suasana share pengalaman dan pengetahuan. Dengan demikian akan terwujudnya iklim penyelesaian masalah dengan menggunakan tinjauan dari berbagai disiplin ilmu. Kabar baiknya, bahwa setiap guru akan menjadi pribadi yang berpikiran objektif, terbuka pada hal-hal baru dan mampu bersikap serta mau memberi inspirasi bagi yang lainnya.
Ke depan, guru sebagai pendidik diharapkan senantiasa mengasah dan mengembangkan kreativitas diri. Melalui pendidikan, latihan, serta motivasi yang tinggi, niscaya guru mampu menyajikan proses pembelajaran yang kreatif, inovatif dan inspiratif. Pada gilirannya, siswanya akan meniru perilaku kreatif dari sang guru. Maka, terjadilah proses saling menumbuhkembangkan kreativitas dalam suasana pembelajaran.

Penutup
Dunia pendidikan senantiasa dituntut antisipatif terhadap kebutuhan siswanya dalam menghadapi tantangan zaman. Pelayanan pendidikan perlu dioptimalkan melalui evaluasi dan pengembangan yang terus menerus pada bagian kurikulum, silabus, serta perangkat pembelajaran lainnya. Pihak sekolah hendaknya senantiasa memberdayakan para guru untuk senantiasa mau belajar mengembangkan diri yang tidak sebatas pada satu bidang kemampuan saja.

Sistem sinkronisasi sangat efektif bagi guru dalam membekali pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan siswa-siswanya. Diharapkan siswa dapat mengembangkan pola belajar secara kreatif, salah satunya melalui sistem pembelajaran sinkronisasi.


DAFTAR PUSTAKA

Wardani, Laksmi Kusuma. 2000. Berpikir Kritis Kreatif: Belajar dan Mengajar Kreatif. Surabaya: Jurusan Desain Interior FSD-UK Petra.
Buchori, Imam. 2000. Refleksi Seni Rupa Indonesia : Perlunya Seni Pada Pendidikan Tinggi. Jakarta: Balai Pustaka.
Dasar. Jurnal Bahasa dan Seni, Vol. 28, No. 1, (72-93). Malang: Universitas Negeri Malang.
Enterprise, Jubilee. 2007. 88 Trik Rahasia Google.Com. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ghiselin, Brewster. 1983. Proses Kreatif . Jakarta: Gunung Jati.
Munandar, SC Utami. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Olson, Robert W. 1996. Seni Berpikir Kreatif. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Putra, Rahmat. 2007. Rahasia Menjadi Top 10 on Google. Jakarta: Dian Rakyat.
Semiawan, Conny R. et. al. 1999. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Empat Prinsip Komunikasi Quantum Teaching untuk Menciptakan Komunikasi Efektif Guru dan Siswa

Oleh Risa Rahayu, S.Pd
Guru SMAN 3 Surabaya

Abstract
Quantum Teaching gives four powerful communication principles between teacher and students in the class. Those principles can be used by teacher when he teaches, gives clues, arrange teaching and learning, or give feed-back. The four principles are: (1) arising positive impression ; (2) directing the focus ; (3) creating inclusive words ; (4) producing specific thing. Communication based on those four principles creates the effective communication between teacher and students in the classroom. The result shows the followings: (1) Positive impression can arise the process of teaching and learning and it can be done through the conversation which support the process, create challencing impression, curiousity , and the competence to analyse errors. (2) Directing the focus can be done through conversation which has the purpose of communication. The more focused conversation the clearer communication to create acts. (3) Unclusive can be done through the words which motivate the togetherness. (4) Specific production can be done through the avoidance of the words focus to the general topic, teachers are to use the specific words or phrases as the communication steps. The clearness creats acts. Using the four principles teachers can maximize the process of teaching ang learning because the principles contains four reasons: (1) maximize the whole brain to increase the quality of learning and the quantity of learning; (2) avoid the misunderstanding in the communication because of the generalization and the opening of the earger association; (3) creating good attitude and behavior which support the process of teaching and learning, and (4) increase the result of process of teaching and learning.
Key Word: The four principles of the powerful communication of quantum teaching, Effective communication.


Pendahuluan
Ketika guru mengajar di kelas dan berbicara kepada siswa, sering terjadi kesalahpahaman komunikasi antara guru dan siswa. Tujuan komunikasi yang berada di benak dan pikiran guru tidak sama dengan yang berada di benak dan pikiran siswa. Hal ini terlihat dari respon perilaku siswa setelah guru menyampaikan beberapa dialog, misalnya, guru bermaksud agar siswa merapikan meja dan memasukkan buku ke dalam tas karena pelajaran selesai dan akan istirahat. Dialog yang diucapkan guru “Anak-anak, sebentar lagi istirahat! Bersiap-siaplah kalian!” Maka respon siswa adalah para siswa ramai, bersorak-sorak, dan berjalan ke sana ke mari untuk siap-siap istirahat. Respon ini tentu tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam benak dan pikiran guru ketika menyampaikan informasi tersebut. Hal ini sering terjadi tanpa disadari oleh guru.

Selain itu, ada beberapa dialog yang tanpa disadari oleh guru, ternyata dialog tersebut tidak memberikan kontribusi yang positif kepada siswa. Dikatakan tidak memberikan kontribusi yang positif kepada siswa karena dialog tersebut ternyata menurut siswa justru melemahkan semangat siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Dialog tersebut, misalnya, “Anak-anak, jangan ramai! Kalian harus konsentrasi terhadap materi ini karena materi ini sulit. Banyak kakak kelas kalian yang tidak tuntas dalam materi ini.” Di benak siswa materi tersebut sulit dan tidak menarik untuk dipelajari. Oleh karena itu, siswa mengikuti proses belajar mengajar dengan setengah hati karena gambaran kesulitan dan ketidakmampuan terhadap materi tersebut. Alhasil, prestasi siswa dalam materi tersebut kurang memuaskan. Hal ini terlihat dari hasil ulangan dan kemampuan siswa menjawab soal-soal dalam tahap refleksi yang dilakukan oleh guru.

Salah satu alternatif solusi untuk mengatasi berbagai masalah di atas, diterapkan empat prinsip komunikasi ampuh quantum teaching. Empat prinsip ini dapat menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas karena hasil penelitian De Porter (2000:117) empat prinsip komunikasi ampuh quantum teaching tersebut dapat memperbaiki interaksi komunikasi guru dan siswa di kelas. Empat prinsip komunikasi ampuh quantum teaching tersebut meliputi: (1) Munculkan kesan; (2) Arahkan fokus; (3) Inklusif; (4) Spesifik.

Berkaitan dengan hal di atas, tulisan ini akan mengupas tentang penerapan empat prinsip komunikasi ampuh quantum teaching untuk menciptakan komunikasi efektif di kelas X3 SMAN 3 Surabaya dan alasan-alasan diterapkannya keempat prinsip tersebut dalam proses belajar mengajar di kelas.

Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching
1. Quantum Teaching
Quantum teaching dimulai di SuperCamp. SuperCamp adalah sebuah program percepatan quantum learning yang ditawarkan Learning Forum, yaitu sebuah perusahaan pendidikan internasional yang menekankan perkembangan keterampilan akademis dan keterampilan pribadi. Strategi mengajar ini diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Learning, Multiple Intellegences, Neuro-Linguistic Programming, Experiential Learning, Sociatic Inquiry, Cooperatif Learning, dan Elements of Effective Instructrion. Teori-teori tersebut menawarkan model-model pembelajaran yang meninggalkan metode-metode belajar konvesional.

Salah satu karakteristik model pembelajaran baru tersebut adalah pelatihan untuk era belajar. Pelatihan tersebut ditandai dengan keterlibatan penuh pembelajar, motivasi internal, adanya kegembiraan dan kesenangan dalam belajar, dan integrasi belajar yang lebih menyeluruh ke dalam segenap kehidupan organisasi. Asumsi dasarnya adalah belajar bukan lagi persiapan untuk bekerja, belajar adalah bekerja (Meier; 2002:24).

Hasil di Supercamp menunjukkan bahwa murid-murid yang mengikuti Supercamp mendapatkan nilai yang lebih baik, lebih banyak berpartisipasi, dan merasa lebih bangga akan diri mereka sendiri. Secara khusus hasil-hasil di Supercamp menunjukkan (a) 68% meningkatkan motivasi; (b) 73% meningkatkan nilai; (c) 81% meningkatkan rasa percaya diri; (d) 84% meningkatkan harga diri; (e) 98% melanjutkan penggunaan keterampilan.
Adapun quantum teaching adalah penggubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. quantum teaching juga menyertakan segala kaitan, interaksi, dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas. Interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka untuk belajar (De Porter, 2000:3).

Asas utama quantum teaching adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Maksud asas tersebut adalah langkah pertama seorang guru mendapatkan hak mengajar dari murid. Oleh karena itu, ia harus memasuki dunia murid agar keberadaannya diterima murid. Hal ini penting karena dengan memasuki dahulu dunia mereka akan memberikan izin untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Bagaimana caranya? Dengan mengaitkan materi yang guru ajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran, atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, etletik, musik, seni, rekreasi, atau akademis mereka. Setelah kaitan itu terbentuk, guru dapat membawa murid ke dalam dunia kita dan memberi pemahaman mengenai isi dunia itu. Di sinilah kosa kata baru, model rumus, konsep, dan sebagainya dapat dibeberkan.

Quantum teaching memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut, (a) Segalanya berbicara yaitu segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru sampai pada kertas yang dibagikan dan rancangan pelajaran mengirimkan pesan tentang belajar. (b) Segalanya bertujuan yaitu semua yang terjadi dalam penggubahan pengajaran mempunyai tujuan. (c) Pengalaman sebelum pemberian nama yaitu proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk hal yang mereka pelajari. (d) Akui setiap usaha yaitu belajar mengandung resiko, belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka. (e) Jika layak dipelajari layak pula dirayakan yaitu memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.

Model quantum teaching terdiri dari dua seksi utama, yaitu konteks dan isi. Konteks adalah latar dalam pembelajaran. Konteks terdiri dari beberapa bagian, yaitu suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Adapun isi adalah keterampilan penyampaian untuk kurikulum dan strategi yang dibutuhkan siswa untuk bertanggung jawab terhadap hal yang mereka pelajari. Isi meliputi penyajian yang prima, fasilitas yang luwes, keterampilan belajar- untuk-belajar, dan keterampilan hidup.

2. Empat Prinsip Komunikasi Ampuh
Guru adalah penyampai kurikulum. Oleh karena itu, perkataan guru dan cara guru mengatakan sangat berpengaruh terhadap siswa dalam menerima pelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Setiap interaksi yang dilakukan guru dengan siswa sama pentingnya dengan perkataan guru, bahkan mungkin lebih penting. Quantum teaching memberikan empat prinsip komunikasi ampuh. Komunikasi ampuh ini dapat dipakai oleh guru ketika mengajar, memberikan petunjuk, menata konteks, atau memberikan umpan balik (De Porter 2000:118). Komunikasi ampuh ini dapat dilakukan dengan mudah dan disengaja. Keempat komunikasi ampuh tersebut sebagai berikut.

a. Munculkan Kesan
Kesan yang dimaksud dalam komunikasi ampuh quantum teaching adalah citra (De Porter, 2000:119). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:216) ada beberapa makna tentang citra. Makna yang tepat dalam kaitannya dengan maksud di sini yaitu kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat.
Perkataan guru diharapkan mampu menimbulkan kesan yang dapat memacu belajar siswa. Secara sadar, guru diharapkan memilih perkataan yang menimbulkan citra positif, memacu pelajaran, dan meningkatkan komunikasi. Jangan sampai perkataan guru menimbulkan citra negatif yang dapat melemahkan pembelajaran, misal, menimbulkan kesan kesulitan, kebosanan, bahaya, kegagalan dan sebagainya.

b. Arahkan Fokus
Fokus adalah unsur yang menonjolkan suatu bagian kalimat sehingga perhatian pendengar tertarik pada bagian itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:319). Dalam kaitannya dengan interaksi siswa-guru di kelas, diharapkan perkataan guru mampu langsung mengarahkan perhatian siswa kepada asosiasi yang mendukung belajar. Oleh karena itu, pilihlah kata-kata yang langsung mengarah pada asosiasi yang dimaksud dalam pesan itu. Jangan sampai membuka peluang bagi siswa untuk menciptakan berbagai macam asosiasi yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak mendukung belajar.
Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh guru agar prinsip arahkan fokus ini dapat terpakai yaitu “tanyalah kepada diri sendiri: di mana guru ingin memusatkan perhatian siswa”. Lalu, pilihlah kata-kata yang langsung mengarahkan fokus mereka.

c. Inklusif
Semua perkataan guru diharapkan memacu terciptanya dinamika yang positif dan memacu hubungan kerja sama yang menyeluruh. Setiap orang diajar terlibat dalam proses pembelajaran.
Sebagai quantum teacher, guru diharapkan menciptakan sebuah suasana kerja sama, kerja tim, dan keterlibatan, terutama mengingat adanya asosiasi negatif yang dimiliki beberapa siswa mengenai dinamika guru dan siswa. Memilih kata secara sadar dan sengaja dapat memperkuat rasa kebersamaan dan menimbulkan asosiasi positif. Untuk menciptakan lingkungan belajar yang penuh kerja sama, gunakanlah bahasa yang mengajak semua orang. “Mari kita” dan “kita” menciptakan kesan keterpaduan dan kesatuan. Perkataan seperti itu berarti, “Kita berjuang bersama-sama” (De Porter, 2000:122).

d. Spesifik
De Porter (2000:122) mengatakan bahwa kesalahan komunikasi sering terjadi karena generalisasi. Generalisasi memungkinkan orang lain mengisi kekosongan dengan pemahamannya sendiri. Semakin spesifik perkataan, akan semakin membawa kejelasan. Kejelasan mendorong lahirnya tindakan yang diinginkan dalam komunikasi.
Keempat prinsip komunikasi ampuh tersebut merupakan komunikasi verbal, yaitu komunikasi yang dilakukan secara lisan melalui suatu percakapan. Komunikasi verbal harus didukung oleh komunikasi nonverbal, yaitu mengarah kepada komunikasi tanpa kata seperti sikap, gerakan tubuh, gerak isyarat, dan ekspresi wajah (Darmawan, 2006:4).

Mengapa komunikasi verbal harus didukung oleh kamunikasi nonverbal? Karena pesan dan bahasa tubuh itu sama dan sebangung atau kongruen (De Porter, 2000:124). Tubuh dan suara adalah kurir yang membawakan pesan. Dengan dukungan komunikasi nonverbal yang efektif, guru dapat menyampaikan pesan kongruen yang akan memperkuat komunikasi. Pesan yang kongruen adalah pesan yang memiliki perkataan, ekspresi wajah, gerak tubuh, dan postur yang selaras. Wajah mengatakan hal yang sama dengan perkataan tubuh dan pikiran otak.
Hal-hal yang merupakan komunikasi nonverbal dalam quantum teaching yaitu kontak mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan postur.

3. Komunikasi Efektif
Ada banyak definisi tentang komunikasi. Salah satu definisi tersebut adalah yang dikemukakan oleh Rachmadi (1994:65). Ia mengatakan bahwa komunikasi itu merupakan proses penyampaian atau pengiriman pesan dari sumber kepada satu atau lebih penerima dengan maksud untuk mengubah perilaku dan sikap penerima pesan.

Pada dasarnya, orang berkomunikasi itu memiliki tujuan. Tujuan proses komunikasi sebagai berikut, (a) Menciptakan pengertian yang sama terhadap setiap pesan dan lambang yang disampaikan. (b) Merangsang pemikiran pihak penerima untuk memikirkan pesan dan rangsangan yang ia terima. (c) Melakukan suatu tindakan yang selaras dengan pesan yang diterima sebagaimana diharapkan dengan adanya penyampaian pesan tersebut, yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Darmawan, 2006:2).

Jadi, berdasarkan hal-hal di atas, ukuran bahwa komunikasi itu efektif adalah informasi disampaikan dan hubungan dibangun (Ludlow,1996:7). Informasi tersampaikan apabila pesan yang berada dalam benak dan pikiran komunikan dapat diterima secara sama oleh komunikator. Hubungan dibangun apabila tujuan-tujuan komunikasi di atas dapat tercapai.
Tidak semua komunikasi itu efektif. Pesan yang dikirim oleh satu pihak kepada pihak lain terkadang tidak diterima dengan baik seperti yang dimaksud pengirim pesan. Hal ini terjadi karena pesan yang disampaikan terhambat oleh berbagai kendala yang muncul saat komunikasi berlangsung. Pembatas komunikasi muncul saat adanya gangguan-gangguan dalam komunikasi sehingga mangacaukan dan menghambat pesan pengirim.

Ludlow (1996:16) mengelompokan kendala komunikasi ke dalam tiga kelompok, yaitu (a) Kendala dalam penerimaan yang meliputi: rangsangan dari lingkungan, sikap dan nilai-nilai penerima, kebutuhan dan harapan penerima. (b) Kendala-kendala dalam pemahaman yang meliputi: bahasa, masalah semantik, kemampuan penerima untuk mendengar dan menerima, panjang komunikasi, perbedaan status. (c) Kendala dalam penyambutan: praduga, konflik pribadi antara pengirim dan penerima. Salah satu cara untuk mengurangi akibat kendala-kendala tersebut adalah selama proses komunikasi memeriksa terus-menerus isi berita yang dikirim dan yang diterima. Hal ini dapat dilakukan melalui umpan balik antara komunikan dan komunikator.

Alasan Penerapan Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching untuk Menciptakan Komunikasi Efektif antara Guru dan Siswa di Kelas X3 SMAN 3 Surabaya
1. Pentingnya Kesan
Mengapa kesan/citra itu penting dalam pembelajaran? Hal ini terkait dengan otak. Menurut teori otak triune (Meier, 2002:83), otak manusia terdiri dari tiga bagian: neokorteks, sistem limbik, dan otak reptil. Neokorteks adalah topi otak, penutup yang melilit berupa zat berwarna kelabu yang merupakan 80-85% dari massa otak. Otak ini mempunyai banyak fungsi tingkat tinggi seperti berbahasa, berpikir abstrak, memecahkan masalah, merencanakan ke depan, bergerak dengan baik, dan berkreasi.

Sistem limbik adalah otak tengah yang memainkan peranan besar dalam hubungan manusia dan emosi. Ini adalah otak sosial dan emosional. Di otak ini juga terkandung sarana yang penting untuk ingatan jangka panjang. Otak reptil adalah bagian otak paling sedehana. Tugas otak reptil adalah mempertahankan diri. Otak ini menguasai fungsi otomatis seperti degupan jantung dan sistem peredaran darah. Di sini adalah pusat perilaku naluriah dan reseptif yang cenderung mengikuti contoh dan rutinitas secara membuta dan ritualistis.

Kaitan citra dengan otak adalah bahwa belajar harus melibatkan fungsi limbik otak. Emosi (yang difungsikan oleh sistem limbik otak) dan akal sehat berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas belajar. Menurut teori Accelerated Learning bahwa tidak ada apapun yang dapat mempercepat pembelajaran selain rasa gembira (Meier, 2002:85). Citra negatif akan memperlambat belajar bahkan menghentikan sama sekali. Citra yang positif akan membuat pembelajar berada dalam keadaan santai dan terbuka. Mereka dapat “naik tingkat” ke area neokorteks. Jika citra negatif dan pembelajar merasa tertekan, mereka cenderung “turun tingkat” ke otak reptil dengan tujuan bukan untuk belajar melainkan untuk bertahan. Belajar jadi lambat atau bahkan terhenti.

Hal ini juga dibuktikan dari hasil survei di kelas X3 SMAN 3 Surabaya. Berdasarkan hasil survei percakapan guru. Citra positif ditunjukkan B dan citra negatif ditunjukkan A.
1) 95% Siswa memilih B karena percakapan 1(b) menimbulkan kesan positif yang memacu pembelajaran dan mengajak semua siswa untuk terlibat sungguh-sungguh dalam belajar. “Anak-anak, bagian ini paling menantang. Mari kita simak sungguh-sungguh supaya kalian betul-betul memahaminya.” Daripada percakapan “Anak-anak, bagian bab ini paling sulit dan membosankan. Jadi, kalian harus waspada kalau tidak mau gagal.” Percakapan ini menimbulkan kesan kesulitan, kebosanan, kewaspadaan, dan kegagalan.
2) 72,5% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 2(b) menimbulkan kesan tantangan tetapi siswa mampu menguasainya. Menurut Cornegie (1993:190), tantangan merupakan satu cara sempurna untuk menarik manusia menjadi bersemangat. “Ini bagian yang paling menantang yang telah kalian kuasai sejauh ini.”Daripada “Sekarang kita sampai pada bagian tersulit pelajaran ini.”
3) 75% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 3(b) menimbulkan kesan penasaran untuk menaklukkan tantangan dalam pelajaran tersebut. “Materi ini mengandung banyak tantangan.” Daripada percakapan “Materi ini paling sulit.” Percakapan ini menimbulkan kesan pelajaran sulit.
4. 80% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 4(b) menimbulkan kesan memacu siswa untuk mengkaji kembali tugas rumah. “Marilah kita mulai dengan melihat kesenangan rumah kemarin. Silakan keluarkan, kemudian dioper kepada teman di sebelah kananmu,” (setelah mengumpulkan dan melihat hasil PR …)

Tampaknya kita perlu mengulang konsep kemarin dengan cepat. Ibu benar tidak?” (jeda). “Bagus. Keluarkan catatan kalian dan mari kita ulang dengan menggunakan contoh kemarin.”
Daripada percakapan,
“Marilah kita mulai dengan melihat kesenangan rumah kemarin. Silakan keluarkan ,kemudian dioper kepada teman di sebelah kananmu,” (setelah mengumpulkan dan melihat hasil PR …) “Tampaknya kita perlu mengulang konsep kemarin dengan cepat. Ibu benar tidak?” (jeda). “Bagus. Keluarkan catatan kalian dan mari kita ulang dengan menggunakan contoh kemarin.”

2. Pentingnya Arahkan Fokus
Ilmuwan memperkirakan bahwa otak manusia menerima lebih dari 10.000 pecahan informasi setiap detik saat manusia terjaga (De Porter, 2000:120). Lalu bagaimana otak bekerja dan kaitannya dengan prinsip arahkan fokus? Prinsip arahkan fokus memanfaatkan kemampuan otak yang mampu memilih banyaknya input dan memusatkan perhatian otak. Otak memiliki kemampuan pemroresan –ganda. Setelah masuk ke otak, informasi indrawi diproses pada tingkat sadar atau tidak sadar. Informasi yang tidak dibutuhkan akan disimpan di bawah tidak sadar. Informasi yang mengarah pada fokus akan dibawa pada tingkat sadar dan melahirkan tindakan. Oleh karena itu, percakapan yang mengarahkan fokus ke pusat perhatian yang dimaksud dalam komunikasi akan menciptakan komunikasi yang efektif.

Hal ini dibuktikan hasil pengamatan percakapan guru dan reaksi siswa. Percakapan yang fokus langsung pada hal yang dimaksud dalam komunikasi akan melahirkan tindakan siswa. Percakapan mengarahkan pada fokus ditunjukkan B dan yang tidak mengarahkan pada fokus ditunjukkan A. Hasilnya sebagai berikut.
1) 77,5% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 5 (b) bersifat fokus membatasi waktu untuk menyelesaikan pekerjaan. “Marilah kita selesaikan pekerjaan itu dalam waktu lima belas menit. Setelah itu, kumpulkan di meja guru.” Daripada percakapan “Cepat selesaikan pekerjaan kalian. Saya menunggu untuk dikumpulkan.”
2) 75% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 15 (b) menimbulkan kejelasan untuk melakukan tindakan yaitu mengerjakan PR. “Ingatlah, kerjakan PR kalian.”Daripada percakapan “Jangan lupa besok ulangan.”
3) 97,5% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 16 (b) menimbulkan kejelasan untuk belajar nanti malam tentang materi ulangan besok. “Ingatlah, nanti malam kalian belajar materi argumentasi karena besok ulangan materi tersebut.” Daripada percakapan “Jangan lupa besok ulangan.”
4) 67,5% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 17(b) menimbulkan kejelasan agar datang sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai. “Datanglah sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai.” Daripada percakapan “ Usahakan agar datang tidak terlambat.”

3. Pentingnya Inklusif
Memanfaatkan seluruh otak merupakan kunci untuk membuat belajar lebih cepat, lebih menarik, dan lebih efektif (Meier, 2002:84). Terkait dengan hal tersebut, belajar harus melibatkan fungsi sistem limbik. Pelibatan sistem limbik yang positif akan merangsang penggunaan fungsi otak naik tingkat ke area otak neokorteks yaitu otak belajar.
Seperti yang telah dijelaskan, sistem limbik adalah otak tengah yang memainkan peranan besar dalam hubungan manusia dan emosi. Oleh karena itu, pembelajaran harus bersifat sosial. Kerjasama di antara pelajar melibatkan lebih banyak daya otak keseluruhan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas belajar. Agar tercipta lingkungan belajar yang penuh kerja sama, gunakan bahasa yang mengajak semua orang dan menciptakan kesan keterpaduan dan kesatuan.

Hal ini juga terbukti dari hasil survei dalam table 3, untuk percakapan guru yang bersifat inklusif nomor 6, 9, 10, 11, 13, 14. 82,5%, 87,5%, 90%, 70%, 92,5%, 75% siswa memilih percakapan B karena percakapan tersebut menimbulkan asosiasi positif yaitu mengajak dalam kebersamaan.
“Ingatlah, kerjakan PR kalian.”
“Kita akan mempelajari langkah-langkah ini!”
“Anak-anak, mari pahami keterangan saya ini.”
“Kita akan memperhatikan grafik halaman 134. Mari keluarkan buku kalian.”
“Kalian ingin mendapatkan nilai bagus? Ayo, kita bersungguh-sungguh belajar agar mendapat nilai lebih baik dari SKM.”
“Anak-anak, mari pusatkan perhatian kalian pada soal-soal ini. Hindari hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi kalian terhadap soal tersebut.”
Daripada percakapan:
“Yang harus kalian lakukan, mengeluarkan pekerjaan rumah kemarin.”
“Ibu akan mengajarkan langkah-langkah ini!”
“Anak-anak, perhatikan!”
“Bapak ingin kalian mengeluarkan buku dan grafik pada halaman 134.”
“Kalian harus mendapatkan nilai yang lebih baik.”
“Anak-anak jangan mengobrol saja. Kerjakan soal-soal itu secepatnya.”

4. Pentingnya Spesifik
Semakin spesifik perkataan akan semakin memberikan kejelasan. Kejelasan melahirkan tindakan yang diinginkan dalam komunikasi. Kespesifikan dapat diciptakan dengan penggunaan kata-kata yang spesifik, menggunakan metafora (nomor 6), contoh visual (nomor 3), menyebut nama siswa (nomor 5. a). Kespesifikan menciptakan komunikasi efektif. Masing-masing 90%, 70%, 92,5%, dan 75% siswa memilih percakapan tersebut karena bersifat spesifik dan jelas.
“Anak-anak, mari pahami keterangan saya ini.”
“Kita akan memperhatikan grafik halaman 134. Mari keluarkan buku kalian.”
“Kalian ingin mendapatkan nilai bagus? Ayo, kita bersungguh-sungguh belajar agar mendapat nilai lebih baik dari SKM.”
“Anak-anak, mari pusatkan perhatian kalian pada soal-soal ini. Hindari hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi kalian terhadap soal tersebut.”
Daripada percakapan:
“Anak-anak, perhatikan!”
“Selanjutnya, Bapak ingin kalian mengeluarkan buku dan grafik pada halaman 134.”
“Kalian harus mendapatkan nilai yang lebih baik.”
“Anak-anak, jangan mengobrol saja. Jangan ramai. Kerjakan soal-soal itu secepatnya.”

Penutup

Penerapan Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching untuk Menciptakan Komunikasi Efektif antara Guru dan Siswa di Kelas X3 SMAN 3 Surabaya berguna untuk (1) menimbulkan kesan/citra positif yang dapat memacu pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan percakapan yang mendukung pembelajaran (misal, kemudahan, keasyikan, kemanfaatan dan sebagainya), menciptakan kesan tantangan, penasaran, dan kemampuan untuk mengkaji kembali suatu kesalahan. (2) Untuk mengarahkan fokus dapat dilakukan dengan penggunaan percakapan yang langsung mengarah pada fokus yang dituju dalam tujuan komunikasi tersebut. Semakin fokus percakapan akan melahirkan kejelasan. Semakin jelas komunikasi akan melahirkan tindakan. (3) Untuk menciptakan percakapan yang inklusif dapat dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang mengajak dalam kebersamaan dan menimbulkan asosiasi positif, misalnya dengan menggunakan kata “mari” dan “kita”. (4) Untuk menciptakan percakapan yang spesifik dapat dilakukan dengan menghindari kata-kata yang berkesan umum/general tetapi dengan kata-kata yang lebih spesifik mengarah pada kejelasan sebagaimana yang dimaksud dalam komunikasi. Kespesifikan akan membawa kejelasan. Kejelasan mendorong lahirnya tindakan.


DAFTAR PUSTAKA

Cornegie, Dale. 1993. Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang lain. Jakarta: Binarupa Aksara.
Daniar, Sudarwan. 2007. Metode Penelitian untuk Ilmu-Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Darmawan, Didit. 2006. Komunikasi dan Presentasi. Surabaya: Mahardika.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
De Porter, Bobbi. 2000. Quantum Teaching:Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas. Bandung: Kaifa.
Ludlow, Ron & Fergus Panton. 1996. The Essence of Effective Communication Komunikasi Efektif. Yogyakarta: Andi.
Meier, Dave. 2002. The Accelereted Learning Hand Book. Bandung: Kaifa.
Ndraha, Taliziduhu. 1981. Research (Teori Metodologi Administrasi). Jakarta: Bina Aksara.
Rachmadi, F. 1994. Public Relation dalam Teori dan Praktik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suharsimi, Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: Bina Aksara.

MENGEMBANGKAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH

Oleh Trianto, S.Pd., M.Pd
Guru MAN Surabaya, DLB IAIN Sunan Ampel Surabaya dan DTY Unsuri Surabaya

Abstrak
Seringkali dalam pembelajaran di sekolah, siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Sebagian besar siswa kurang mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan/diaplikasikan pada situasi baru. Untuk itu diperlukan menemukan cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata. Pelaksanaan pengajaran berdasarkan masalah yaitu (1) tugas-tugas perencanaan, (2) tugas interaktif, (3) lingkungan belajar dan tugas-tugas manajemen, (4) asesmen dan evaluasi.
Kata Kunci: Model Pembelajaran, Pembelajaran Berdasarkan masalah.


Pendahuluan
Banyak kritik yang ditujukan pada cara guru mengajar yang terlalu menekankan pada penguasaan sejumlah informasi/konsep belaka. Penumpukan informasi/konsep pada subjek didik dapat saja kurang bermanfaat bahkan tidak bermanfaat sama sekali kalau hal tersebut hanya dikomunikasikan oleh guru kepada subjek didik melalui satu arah seperti menuang air ke dalam sebuah gelas (Rampengan dalam Trianto, 2007: 65). Tidak dapat disangkal, bahwa konsep merupakan suatu hal yang sangat penting, namun bukan terletak pada konsep itu sendiri, tetapi terletak pada bagaimana konsep itu dipahami oleh subjek didik. Pentingnya pemahaman konsep dalam proses belajar mengajar sangat mempengaruhi sikap, keputusan, dan cara-cara memecahkan masalah. Untuk itu yang terpenting terjadi belajar yang bermakna dan tidak hanya seperti menuang air dalam gelas pada subjek didik.

Kenyataan di lapangan siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Lebih jauh lagi bahkan siswa kurang mampu menentukan masalah dan merumuskannya. Berbicara mengenai proses pembelajaran dan pengajaran yang sering membuat kita kecewa, apalagi dikaitkan dengan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Walaupun demikian kita menyadari bahwa ada siswa yang mampu memiliki tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, namun kenyataan mereka sering kurang memahami dan mengerti secara mendalam pengetahuan yang bersifat hafalan tersebut (Depdiknas 2002 : 1).

Menurut Arends (1997: 243): “It is strange that we expect students to learn yet seldom teach then about learning, we expect student to solve problems yet seldom teach then about problem solving”, yang berarti dalam mengajar guru selalu menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana siswa untuk belajar, guru juga menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, tapi jarang mengajarkan bagaimana siswa seharusnya menyelesaikan masalah.

Persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana guru dapat berkomunikasi baik dengan siswanya. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari seluruh siswa, sehingga dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dalam kehidupan nyata.

Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata. Misalnya suatu fenomena alam, mengapa tongkat seolah-olah kelihatan patah saat dimasukkan dalam air?, mengapa uang logam yang diletakkan dalam sebuah gelas kosong jika dilihat pada posisi tertentu tidak kelihatan tetapi saat diisi air menjadi kelihatan?. Dari contoh permasalahan nyata jika diselesaikan secara nyata, memungkinkan siswa memahami konsep bukan sekedar menghafal konsep (Trianto, 2007: 67).

Meminjam pendapat Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 5), bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Suatu kosekuensi logis, karena dengan berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri akan memberikan suatu pengalaman konkret, dengan pengalaman tersebut dapat digunakan pula memecakan masalahan-masalah serupa, kerena pengalaman itu memberikan makna tersendiri bagi peserta didik.

Hakekat Pengajaran Berdasarkan Masalah
Pengajaran berdasarkan masalah telah dikenal sejak zaman John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (dalam Sudjana 2001: 19) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik.

Menurut Arends (1997), pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan ketrampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti “pembelajaran berdarkan proyek (project-based instruction)”, “pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction)”, “belajar otentik (authentic learning)” dan “pembelajaran bermakna (anchored instruction)”.
Menurut Arends (2001: 349), berbagai pengembang pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut (Krajcik, 1999; Krajcik, Blumenfeld, Marx, & Soloway, 1994; Slavin, Maden, Dolan, & Wasik, 1992, 1994; Cognition & Technology Group at Vanderbilt, 1990).

1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Bukannya mengorganisasikan di sekitar prisip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. Sebagai contoh, masalah polusi yang dimunculkan dalam pelajaran di teluk Chesapeake mencakup berbagai subyek akademik dan terapan mata pelajaran seperti biologi, ekonomi, sosiologi, pariwisata, dan pemerintahan.
3. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpul dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan.
4. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat seperti pada pelajaran “Roots and wings”. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
5. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan ketrampilan berfikir.

Manfaat Pengajaran Berdasarkan Masalah
Pengajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim, 2000: 7).
Menurut Sudjana manfaat khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah. Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku, tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya.

Menurut Ibrahim (2003: 15), di dalam kelas PBI, peran guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru di dalam kelas PBI antara lain sebagai berikut: (1) Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari; (2) Memfasilitasi/membimbing penyelidikan misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen/percobaan; (3) Memfasilitasi dialog siswa; dan (4) Mendukung belajar siswa.

Pelaksanaan Pengajaran Berdasarkan Masalah
1. Tugas-tugas Perencanaan
Karena hakekat interaktifnya, model pengajaran berdasarkan masalah membutuhkan banyak perencanaan, seperti halnya model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa lainnya.
a. Penetapan tujuan
Model pengajaran berdasarkan masalah dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan seperti keterampilan menyelidiki, memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa menjadi pemelajar yang mandiri. Dalam pelaksanaanya pemelajaran berdasarkan masalah bisa saja diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
b. Merancang situasi masalah
Beberapa guru dalam pengajaran berdasarkan masalah lebih suka memberi kesempatan dan keleluasaan kepada siswa untuk memilih masalah yang akan diselidiki, karena cara ini dapat meningkatkan motivasi siswa. Situasi masalah yang baik seharusnya autentik, mengandung teka-teki, dan tidak didefinisikan secara ketat, memungkinkan kerjasama, bermakna bagi siswa, dan konsisten dengan tujuan kurikulum.
c. Organisasi sumber daya dan rencana logistik
Dalam pengajaran berdasarkan masalah siswa dimungkinkan berkerja dengan beragam material dan peralatan, dan dalam pelaksanaanya bisa dilakukan di dalam kelas, di perpustakaan, atau di laboratorium, bahkan dapat pula dilakukan di luar sekolah. Oleh karena itu tugas mengorganisasikan sumber daya dan merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan siswa, haruslah menjadi tugas perencanaan yang utama bagi guru yang menerapkan pemelajaran berdasarkan pemecahan masalah.

2. Tugas Interaktif
a. Orientasi Siswa pada Masalah
Siswa perlu memahami bahwa tujuan pengajaran berdasarkan masalah adalah tidak untuk memperoleh informasi baru dalam jumlah besar, tetapi untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah penting dan untuk menjadi pemelajar yang mandiri. Cara yang baik dalam menyajikan masalah untuk suatu materi pelajaran dalam pemelajaran berdasarkan masalah adalah dengan menggunakan kejadian yang mencengangkan dan menimbulkan misteri sehingga membangkitkan minat dan keinginan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b. Mengorganisasikan Siswa Untuk Belajar.
Pada model pengajaran berdasarkan masalah dibutuhkan pengembangan keterampilan kerjasama diantara siswa dan saling membantu untuk menyelidiki masalah secara bersama. Berkenaan dengan hal tersebut siswa memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas pelaporan. Bagaimana mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif berlaku juga dalam mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok pengajaran berdasarkan masalah.

3. Membantu Penyelidikan Mandiri dan Kelompok
Guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi dari berbagai sumber, siswa diberi pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa diajarkan untuk menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang dihadapinya, siswa juga perlu diajarkan apa dan bagimana etika penyelidikan yang benar.
Guru mendorong pertukaran ide gagasan secara bebas dan penerimaan sepenuhnya gagasan-gagasan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam tahap penyelidikan dalam rangka pemelajaran berdasarkan masalah. Selama dalam tahap penyelidikan guru memberikan bantuan yang dibutuhkan siswa tanpa mengganggu aktifitas siswa. Puncak proyek-proyek pengajaran berdasarkan pemecahan masalah adalah penciptaan dan peragaan artifak seperti laporan, poster, model-model fisik, dan video tape.

4. Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah
Tugas guru pada tahap akhir pengajaran berdasarkan pemecahan masalah adalah membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri, dan keterampilan penyelidikan yang mereka gunakan.

Lingkungan Belajar dan Tugas-tugas Manajemen
Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa guru perlu memiliki seperangkat aturan yang jelas agar supaya pemelajaran dapat berlangsung tertib tanpa gangguan, dapat menangani perilaku siswa yang menyimpang secara cepat dan tepat, juga perlu memiliki panduan mengenai bagaimana mengelola kerja kelompok.

Salah satu masalah yang cukup rumit bagi guru dalam pengelolaan pembelajaran yang menggunakan model pengajaran berdasarkan masalah adalah bagaimana menangani siswa baik individual maupun kelompok, yang dapat menyelesaikan tugas lebih awal maupun yang terlambat. Dengan kata lain kecepatan penyelesaian tugas tiap individu maupun kelompok berbeda-beda. Pada model pengajaran berdasarkan masalah siswa dimungkin untuk mengerjakan tugas multi (rangkap), dan waktu penyelesaian tugas-tugas tersebut dapat berbeda-beda.

Dalam model pengajaran berdasarkan masalah, guru sering menggunakan sejumlah bahan dan peralatan, dan hal ini biasanya dapat merepotkan guru dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, untuk efektifitas kerja guru harus memiliki aturan dan prosedur yang jelas dalam pengelolaan, penyimpanan, dan pendistribusian bahan.

Selain itu yang tidak kalah pentingnya, guru harus menyampaikan aturan, tata krama, dan sopan santun yang jelas untuk mengendalikan tingkah laku siswa ketika mereka melakukan penyelidikan di luar kelas termasuk di dalamya ketika melakukan penyelidikan di masyarakat.

Asesmen dan Evaluasi
Seperti halnya dalam model pembelajaran kooperatif, dalam model pengajaran berdasarkan masalah fokus perhatian pembelajaran tidak pada perolehan pengetahuan deklaratif, oleh karena itu tugas penilaian tidak cukup bila penilaiannya hanya dengan tes tertulis atau tes kertas dan pensil (paper and pencil test). Teknik penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pengajaran berdasarkan masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan siswa yang merupakan hasil penyelidikan mereka.

Tugas asesmen dan evaluasi yang sesuai untuk model pengajaran berdasarkan masalah terutama terdiri dari menemukan prosedur penilaian alternatif yang akan digunakan untuk mengukur pekerjaan siswa, misalnya dengan asesmen kinerja dan peragaan hasil. Asismen kinerja dapat berupa asesmen melakukan pengamatan, asesmen merumuskan pertanyaan, asesmen merumuskan sebuah hipotesa dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richardl. 1997. Classroom Instructional Management. New York: The Mc Graw-Hill Company.
Dahar, S. 1988. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Ibrahim, M., dan Nur, M., 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press.
Nur, M. 1998. Teori-Teori Perkembangan Sosial dan Perkembangan Moral. Surabaya: Program Pascasarjana IKIP Surabaya.
Nur, M. 2001. Perkembangan Selama Anak-Anak dan Remaja. Surabaya: PSMS Program Pascasarjana Unesa.
Nur, M. dan Wikandari, P. R. 2000. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: PSMS Program Pascasarjana Unesa.
Slavin, R.E 1994. Educational Psychologi Theory, Research, and Practice, Fifth Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publishers.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.. Prestasi Pustaka: Jakarta.

Membangun Moral SISWA dengan Menanamkan RASA Nasionalisme

Oleh Helmi Yuliati Ningsih, S.Pd*)
Guru MI Darul Ulum Tambak Oso Waru Sidoarjo

Abstrack
The crisis happened in Indonesia recent years was not in the aspect of economic only, but in the term of moral too. The young’s naughtiness happened in anywhere too often. There were many factors caused the degradation in young people’s moral. This problem did not come merely from lacking in understanding of religious values or lacking in parent’s care. One of the causes of degradation in young people’s moral came also from lacking in nationalism building. The young, especially students show a little appreciation for the significance of nationalism. They have no appreciation enough for the significance of national history and how hard the freedom fighter’s struggle in fighting for national liberty. It needs to develop the students’ moral at the earliest possible by arousing sense of nationalism. There are many ways to build student’s nationalism, for example showed films about the history of national struggle, invite them to visit to heroes’ sacred place, get them used celebrate the freedom day and bring closer them to hero pictures or national anthem. At the result, sense of nationalism will encourage students to appreciate the significance of national freedom and give rise to awareness of national union, so they will morally be encouraged to do the right things.
Key Word: Moral, Student, Nationalism


Pendahuluan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak akan lepas dari tudingan masyarakat jika ada kenakalan remaja atau tawuran antar siswa. Kemerosotan moral siswa yang kerap terjadi seakan-akan merupakan kegagalan lembaga pendidikan untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Terlebih lagi guru agama dan guru PPKn, selalu menjadi sasaran empuk yang dituduh gagal membentuk moral siswa. Sebenarnya penanaman moral sangat terkait dengan semua guru, orang tua, dan masyarakat.

Kalau dikaji secara detail, penyebab kemerosotan moral pada diri anak bukan hanya karena adanya penurunan akhlak dan kurangnya pemahaman terhadap nilai agama. Penyebab kemerosotan moral sering terjadi karena kurangnya perhatian orang tua sehingga anak merasa terabaikan. Penyebab lain yang besar peranannya terhadap kemerosotan moral siswa adalah menurunnya rasa nasionalisme dalam diri siswa.

Di sisi lain, sibuknya pemerintah, para pejabat, pemerhati pendidikan, dan masyarakat tentang persoalan ekonomi yang makin tidak menentu membuat kita lupa untuk terus menanamkan rasa nasionalisme dalam diri siswa. Kenyataan ini harus kita akui karena rasa nasionalisme sangat berpengaruh terhadap moral siswa. Dengan rasa nasionalisme yang tinggi, anak akan lebih mencintai dirinya sendiri sehingga kecil kemungkinannya mereka akan menjerumuskan dirinya untuk hal yang tidak berguna. Terhadap sesama teman, mereka akan merasa senasib seperjuangan sebagai bangsa Indonesia yang utuh. Adanya rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi antar anak membuat salah satu di antara mereka tidak tega menyakiti yang lainnya.
Pada zaman perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia terbukti berhasil mencapai kemerdekaan karena adanya rasa nasionalime, rasa persatuan dan kesatuan yang kuat. Perbedaan suku, agama dan daerah asal tidak pernah dipersoalkan. Satu hal yang mereka rasakan saat itu yaitu rasa cinta terhadap tanah air dan rasa persaudaraan di antara sesama bangsa Indonesia. Alhasil, kemerdekaan di tangan kita.

Apa yang terjadi pada anak di abad sekarang? Kenakalan remaja dan tawuran terjadi di mana-mana. Bergetarnya hati tatkala mendengar lagu kebangsaan dikumandangkan tak lagi dirasakan anak zaman sekarang. Apalagi rasa cinta pada diri sendiri mulai pupus dengan mengkonsumsi obat-obat terlarang, bahkan tak perduli walaupun dengan menyakiti fisik sendiri. Terlebih lagi, kehormatan diri dan keluarga seakan bukan masalah yang harus dipertaruhkan. Jadi boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia sekarang ini, tidak hanya menderita karena krisis ekonomi, tetapi juga mengalami krisis moral atau krisis multidimensial.

Membangun Moral Siswa dengan Penanaman Nasionalisme
Manusia tidak bisa lepas dari kata “moral”. Karena hanya manusia yang mempunyai kesadaran untuk berbuat baik atau buruk. Seperti yang diungkapkan oleh Riyanto (2007), bahwa kata “moral” mengacu pada baik dan buruknya manusia terkait dengan tindakannya, sikapnya dan cara mengungkapkannya. Sedangkan pengertian moral menurut Mahendra, adalah nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Masalah moral harus diperhatikan setiap manusia, karena baik buruknya moral setiap pribadi menentukan kualitas suatu bangsa. Nilai moral bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Karena dengan nilai-nilai Pancasila kita dapat bertindak dan bersikap sebagai makhluk Tuhan serta sebagai bagian dari komunitas sebuah Negara. Dalam hubungannya dengan bangsa dan negara setiap pribadi juga dituntut untuk mempunyai rasa kebangsaan atau nasionalisme.

Nasionalisme secara teoritis adalah persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah, bahasa dan pengalaman bersama. Nasionalisme bangsa Indonesia merupakan perwujudan rasa cinta bangsa Indonesia terhadap Negara dan tanah air berdasarkan Pancasila. Nasionalisme yang dilandasi Pancasila menuntun kita untuk memiliki sikap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, tenggang rasa, dan merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia.

Membangun moral dengan nasionalisme harus ditanamkan sejak dini, terutama pada siswa usia Sekolah Dasar (SD). Sebab di SD merupakan basic pendidikan, sedangkan moral merupakan landasan utama dalam melakukan seluruh aktivitas dalam kehidupan. Pergaulan siswa SD belum begitu komplek dibanding siswa SMP atau SMA. Oleh karena itu jika penanaman moral dimulai sejak SD akan lebih mengakar dan tertanam dalam diri siswa.

Memang tidaklah adil jika kemerosotan moral kita timpakan sepenuhnya pada pribadi siswa. Mereka merupakan korban kelalaian orang dewasa yang selalu berkonsentrasi pada urusan duniawi yang tiada habis-habisnya. Padahal orang dewasa atau generasi tua sering dijadikan teladan oleh anak-anak. Jika tokoh teladannya sibuk dengan dirinya sendiri, akibatnya mereka kehilangan tokoh panutan dan berbuat semau gue. Menurut Riyanto dan Handoko (2005:77), setiap anak membutuhkan perhatian, sapaan, perhargaan secara positif dan cinta tanpa syarat untuk mengembangkan dirinya yang berharga.

Tetapi sekarang bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Yang terpenting lagi, bagaimana cara membenahi dan mengurangi kemerosotan moral. Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa mereka adalah aset bangsa yang tak ternilai. Mereka adalah calon pemikir bangsa yang harus dipersiapkan untuk membawa bangsa dan negara ini menuju era keemasan.

Penanaman moral melalui seruan agama sudah banyak dilakukan oleh para guru di sekolah dan para da’i serta pemuka di lingkungan masyarakat. Tetapi membuka kembali sejarah berdirinya bangsa dan negara Indonesia banyak terlupakan. Padahal pengalaman nenek moyang dan para pejuang bangsa merupakan pelajaran yang tak kalah besar peranannya dalam membentuk moral, watak dan peradaban bangsa yang bermartabat.

Juga bukan salah guru PPKn, IPS, atau agama sebagai guru yang diberi tugas menyampaikan materi seputar akhlakulkarimah dan sejarah perjuangan bangsa. Pembentukan moral siswa melalui penanaman semangat nasionalisme merupakan tanggung jawab semua kalangan masyarakat. Tidak hanya di bangku sekolah sebagai lembaga pendidikan, penanaman rasa nasionalisme dapat dimulai dari lingkungan tempat tinggal mereka. Misalnya, sering kali memperdengarkan lagu-lagu nasional di rumah atau lingkungan masyarakat dapat mempertebal rasa nasionalisme. Menjamurnya lagu-lagu anak muda perlu diimbangi dengan pemunculan kembali lagu nasional. Sehingga tidak terjadi, seorang anak lebih hafal lagu dari penyanyi favoritnya dari pada lagu nasional bangsa ini.

Seperti yang ditulis oleh Alia dan Nuha (2006), bahwa penanaman nasionalisme yang pernah diterapkan oleh KH. Wahab Hasbullah kepada santrinya yaitu dengan mengubah syair lagu kebangsaan ke dalam bahasa arab sebagai lagu wajib yang harus dinyanyikan dalam keadaan berdiri oleh para santri.

Upaya mempertebal rasa nasionalisme juga dapat dilakukan dengan penayangan film sejarah perjuangan bangsa di televisi. Karena ternyata media televisi lebih menarik anak dari pada ceramah yang dilakukan guru dan pemuka masyarakat. Hal ini dimaksudkan supaya anak-anak mengerti betapa berat perjuangan bangsa ini untuk mencapai kemerdekaan. Sebab menurut Nita (2007), di zaman sekarang jarang diadakan pemutaran film perjuangan, melainkan film asing yang mengagungkan superioritas dan kecanggihan teknologi negara barat, serta sinetrom yang berbau magis, atau kekerasan. Realita ini memperparah penguasaan sejarah perjuangan bangsa generasi muda.

Upaya lain misalnya dengan mengajak siswa dan memperkenalkan tempat-tempat bersejarah seperti museum, mengakrabkan nama-nama dan gambar pahlawan pejuang bangsa, atau mengajak siswa berziarah ke taman makam pahlawan. Hal ini pernah disampaikan oleh A.a. Ngurah Rai Iswara, Kepala Dinas Sosial Denpasar dalam acara hari Pahlawan 10 Nopember 2005 di TMP Puputan, menurutnya ziarah ke makam pahlawan perlu dilakukan agar anak-anak menghargai jasa pahlawan dan menumbuhkan jati diri mereka sejak dini.

Abdullah juga mempertegas bahwa setiap momentum yang terjadi di masyarakat jika dikelola sedemikian rupa mampu mempertebal rasa nasionalisme. Momentum tersebut misalnya sumpah pemuda yang merupakan tonggak pemersatu para pemuda untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Penanaman nasionalisme juga dapat diwujudkan dengan cara membiasakan memakai produk dalam negeri sehingga timbul rasa cinta untuk menghargai hasil karya anak negeri sendiri. Dapat dikatakan, jika nasionalisme kita kurang kuat, akan banyak produk-produk budaya luar yang menggeser produk budaya kita.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan juga, bahwa generasi tua, dalam hal ini guru, harus bisa menjadi panutan bagi generasi muda. Terlebih lagi anak pada usia dini, biasanya memiliki figur yang ingin diteladani. Tidak dapat dipungkiri kalau figur tersebut mempengaruhi pembentukan mental siswa yang sedang mencari jati diri. Samani (2006:87) menguatkan pendapat ini bahwa hal yang berhubungan dengan sikap hanya akan berhasil jika dikembangkan dan diwujudkan dalam kebiasaan perilaku keseharian yang disertai teladan orang yang lebih senior. Misalnya, orang tua melarang anak menonton sinetron orang dewasa, tetapi mereka sendiri tidak pernah beranjak dari depan televisi.

Pentingnya Membangun Moral Melalui Penanaman Nasionalisme
Arus globalisasi dan modernisasi membuat generasi muda hanyut dalam gaya hidup dan sikap individualis, acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar dan tidak peduli dengan tangung jawab moral. Banyak generasi muda yang hanyut dalam gemerlap dunia, mengisi waktu untuk kesenangan pribadi tanpa memikirkan masa depannya. Lebih menyedihkan lagi jika mereka lupa bahwa sebenarnya mereka adalah sumber kekuatan moral yang diharapkan agar selalu menjunjung kebenaran sesuai hati nurani dan berjiwa patriotisme.

Jika pembangunan moral dengan nasionalisme ini terlaksana, kemungkinan besar siswa tidak membuang waktu untuk hal yang tidak berguna, apalagi merugikan diri sendiri. Rasa nasionalisme dapat mendorong mereka untuk lebih menghargai nilai kemerdekaan dan arti hidup dengan hal-hal yang positif. Terhadap sesama teman akan ada rasa saling asih mengasih dan semangat untuk selalu bersatu sebagai sesama anak bangsa, yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah air yang sama. Mereka akan merasa bangga dengan adanya kemajemukan bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang harus dipertahankan.

Menurut Azhar(2002), kesadaran akan persatuan dan kesatuan bangsa penting bagi generasi muda sebagai sistem nilai sehingga secara moral mereka akan berbuat baik dalam setiap tindakan dan gerak hati nuraninya. Lebih penting lagi mereka pandai melihat peluang untuk mencapai eminensi dalam hidupnya, kesuksesan masa depannya.

Menurut Wariyanto(2007), dampak positif nasionalisme telah tercatat sebagai prestasi gemilang dalam sejarah, yaitu dengan lahirnya Boedi Oetomo 20 Mei dan peristiwa Sumpah Pemuda 1928, yang mengandung nilai urgen berupa kesatuan. Selain itu Sumpah pemuda menurut Laksana (2006), merupakan wujud pengusungan faham nasionalisme, melalui penyatuan keinginan bersama untuk membuat negeri ini merdeka. Laksana juga mengatakan bahwa nasionalisme bagi suatu negara ibarat tiang penyangga bagi rumah. Jadi jika semangat nasionalisme pudar, maka keruntuhan sebuah negara hanya tinggal menunggu waktu.

Jika generasi muda, khususnya siswa mengetahui bahwa bahwa betapa beratnya perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang sekarang mereka nikmati, tentu mereka akan menghargai arti kemerdekaan dan tidak menyia-nyiakan kemerdekaan dengan kegiatan yang tidak berarti. Nasionalisme dapat menyadarkan generasi muda bahwa terbentuknya Negara Indonesia tidak terjadi tiba-tiba, melainkan melalui tahapan yang panjang. Mereka harus tahu bahwa kemerdekaan ini telah dibayar dengan tetes darah para pahlawan. Mereka harus sadar bahwa di tangan merekalah masa depan bangsa dan negara.

Seperti yang ditulis oleh Riyanto (2007), diperlukan pribadi yang memiliki integritas serta memiliki keberanian moral untuk memperbaiki dan mengembangkan keadaan ke tingkat hidup yang lebih berkeadaban. Jika ingin membangun atau mengembalikan kejayaan bangsanya, lebih dulu harus mengembangkan perilaku etis dan membangun moralitas bangsanya. Pembangunan moral harus dititik beratkan pada siswa sebagai generasi penerus yang berperan sebagai kekuatan moral dan kekuatan politik. Membentuk moral dengan nasionalisme sejak dini, terutama pada masa sekolah dasar sangat penting. Dari pengalaman sejarah negara Indonesia, ternyata pemuda turut mengukir berdirinya negara ini.

Penutup
Kemerosotan moral generasi muda dapat dikurangi dengan cara menanamkan rasa nasionalisme sejak usia dini. Rasa nasionalisme tersebut dapat diterapkan dengan sering memperdengarkan lagu nasional, memperingati hari kemerdekaan dan hari besar nasional, memperkenalkan gambar-gambar pahlawan pejuang kemerdekaan, mengajak ziarah ke taman makam pahlawan, dan penayangan film sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Membentuk moral dengan menanamkan nasionalisme penting karena dapat mendorong generasi muda untuk menghargai arti kemerdekaan dengan hal-hal yang positif, dan agar timbul kesadaran akan persatuan dan kesatuan bangsa sehingga secara moral mereka terdorong untuk berbuat baik. Dalam membangun moral dengan penanaman nasionalisme diperlukan kerja sama dan saling bahu membahu antara semua pihak, yaitu lembaga pendidikan, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Semua pihak hendaknya bisa menjadi contoh teladan bagi siswa sebagai generasi penerus pembangunan.


DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Syafruddin.2002. Penyadaran Pentingnya Nasuonalisme. http://www. polarhome.com. Diakses 4 Mei 2008.
Alia, Syaifuddin dan Nuha, Ulin. Pendidikan Saat krisis Nasionalisme. Dalam Suara merdeka 9 Oktober 2006.
Laksana, Winjaya Andri. 2006. Debat:Nasionalisme Masih sebatas Simbol. www.suaramerdeka.com/ Diakses 6 Mei 2008.
Nita, Moa Kornelius. 2007. Sumpah Pemuda, Momentum Kebangkitan. www.indomedia.com/poskup/2007. Diakses 28 April 2008.
Riyanto, Geger. Nasionalisme Manusia. Dalam Kompas 08 September 2007.
Riyanto FIC, Theo dan Handoko FIC, Martin. 2005. Pendidikan pada Usia Dini. Jakarta: Grasindo.
Samani, Muchlas. 2006. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC.
Wariyanto, Agus. 2007 Menggugah Nasionalisme Pemuda. www.wawasandigital.com. Diakses 6 Mei 2008.

LANDASAN EKONOMI DALAM PENDIDIKAN GLOBAL

Oleh Rully Aprilia Zandra *)
Guru Yayasan Pendidikan Bhakti Wanita Islam

Abstract
In United States the defrayal of public school come from local government, state in a federal system (primary source for repairing the public education), and federal government where from the third of them obtained through tax. Remember the activity of education is defrayed from tax, hence of taxes payers will influence how and to what the moneys are applied in activity of educations. Thereby solution concerning economics is not only concerning the wealthy, but everybody, including people make a move in education world and education world which elaborate it. Economics globalization knocking over world, automatically influence most of all state in world, including Indonesia in order not to be convolute and dashed down by waving world economic globalization. Based on review at research of book hence is inferential as follows: (1) Economic of education hold important enough role, although not be the most important factor, in succeeding education mission, (2) Education economics function is as supporter of fluency of education process and as a Iesson matter for forming economic man, (3) Education source of fund besides governmental and public, education institute still can have another source as many as possible, (4) Education fund require to be managed professionally, in general with SP4, and will be justify with purchasing evidence validating.
Key Word: Economic base, Global education


Pendahuluan
Kegiatan pendidikan di Amerika Serikat merupakan suatu usaha besar-besaran. Hal tersebut tercermin pada anggaran belanja pendidikannya yang sangat besar (berbeda dengan Indonesia yang hanya menganggarkan sedikit saja APBN nya untuk pos pendidikan). Di Amerika Serikat pembiayaan public school berasal dari pemerintah lokal, pemerintah negara bagian (sumber utama untuk memperbaiki public education), dan pemerintah federal, yang ketiganya diperoleh melalui pajak. Mengingat kegiatan pendidikan dibiayai dari pajak, maka para pembayar pajak akan mempengaruhi bagaimana dan untuk apa saja uang digunakan dalam kegiatan pendidikan. Pembaharuan pendidikan pada public education merupakan hal yang disoroti secara tajam oleh para pembayar pajak dan para peminat pendidikan, di samping pemerintah Amerika Serikat (Dimyati, 1988:71-73).

Pada zaman pasca modern atau globalisasi sekarang ini, yang sebagian besar manusianya cenderung mengutamakan kesejahteraan materi dibanding kesejahteraan rohani, membuat ekonomi mendapat perhatian yang sangat besar. Tidak banyak orang mementingkan peningkatan spiritual. Sebagian terbesar dari mereka ingin hidup enak dalam arti jasmaniah.
Kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi o1eh perkembangan budaya, terutama dalam bidang teknologi, kesenian, dan pariwisata. Berbagai produk baru yang semakin canggih ditawarkan, berbagai perlengkapan hidup dengan model dan desain yang semakin menarik dipajang di toko-toko, dan para pemandu wisata secara gencar menarik wisatawan dengan daerah-daerah wisatanya yang menjanjikan kekaguman. Situasi seperti ini membuat orang – orang berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk memenuhi seleranya.

Selain pemenuhan selera tersebut di atas, manusia pada umumnya tidak bisa bebas dari kebutuhan akan ekonomi. Sebab kebutuhan dasar manusia membutuhkan ekonomi. Ini berarti orang tidak mampu pun memerlukan uang untuk mengisi perutnya dan sekedar berteduh di waktu malam. Dengan demikian pembahasan tentang ekonomi tidak hanya menyangkut orang-orang kaya, melainkan semua orang, termasuk orang dan dunia pendidikan yang ditekuninya.

Peran Ekonomi dalam Pendidikan
Di samping memajukan perekonomian di negeri sendiri, sejumlah negara yang sudah makmur juga memberi bantuan kepada negara – negara berkembang berupa pinjaman lunak atau bantuan khusus. Kerjasama ekonomi yang lain adalah diperbolehkannya suatu negara membentuk usaha atau industri di negara lain dengan bentuk perjanjian tertentu. Bukan hanya negara diizinkan mengadakan kerja sama seperti itu, tetapi juga usaha-usaha swasta. Bentuk kerjasama yang lain adalah diproduksinya komponen - komponen suatu produksi di daerah atau di negara lain. Artinya suatu hasil produksi tidak selalu memakai komponen produksinya sendiri, seringkali memakai sejumlah komponen yang dihasilkan oleh industri lain. Semua ini merupakan wujud dari globalisasi ekonomi.

Pemerintah Indonesia memutuskan tetap mengutamakan pembangunan ekonomi seperti halnya pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama dahulu. Kalau dahulu alasannya ekonomi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, maka kini di samping alasan itu, juga agar tidak kalah bersaing dalam era g1obalisasi ekonomi ini. Perhatian pemerintah sangat besar dalam bidang ekonomi. Berbagai kebijaksanaan dan peraturan baru di buat. Frekuensi munculnya kebijaksanaan dengan peraturannya ini cukup banyak. Dan jelas berbeda sekali dengan frekuensi munculnya kebijakan dan peraturan-peraturan baru di bidang lain.

Akibat pengutamaan pembangunan di bidang ekonomi adalah munculnya berbagai usaha baru, pabrik-pabrik baru, industri-industri baru, badan-badan perdagangan baru, dan badan-badan jasa yang baru pula. Jumlah konglomerat bertambah banyak, walaupun orang-orang miskin masih tetap ada. Pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi, dan penghasilan negara bertambah, walaupun hutang luar negeri cukup besar dan penghasilan rakyat kecil masih minim.

Perkembangan ekonomi makro berpengaruh pula dalam bidang pendidikan. Cukup banyak orang kaya sudah mau secara sukarela menjadi bapak angkat agar anak-anak dari orang tidak mampu bersekolah, terlepas dari apakah karena dorongan hati sendiri atau berkat himbauan pemerintah yang tidak pemah berhenti. Sikap dan tindakan seperti ini sangat terpuji, bukan hanya karena bersifat perikemanusiaan, melainkan juga dalam upaya membantu menyukseskan wajib belajar 9 tahun. Mereka telah menyisihkan sebagian dari rejekinya untuk beramal bagi yang memerlukan. Tindakan seperti ini patut dicontoh oleh mereka yang kaya tetapi belum menjadi bapak angkat.

Perkembangan lain yang menggembirakan di bidang pendidikan adalah terlaksananya sistem ganda dalam pendidikan. Siatem ini bisa berlangsung pada sejumlah lembaga pendidikan, yaitu kerjasama antara sekolah dengan pihak usahawan dalam proses belajar mengajar para siswa, adalah berkat kesadaran para pemimpin perusahaan atau industri akan pentingnya pendidikan. Kesadaran inipun muncul sebagian karena usaha mereka berhasil dan memberi keuntungan lebih banyak.

Tampaknya mereka sudah mulai sadar bahwa sebagai seorang pengusaha, lebih-lebih yang berhasil, mempunyai kewajiban untuk memberi di samping menerima dari dunia pendidikan. Mereka sudah merasa bahwa tindakan menerima lulusan saja dari lembaga pendidikan adalah keliru. Sebagai pemakai lulusan mereka patut menyumbang kepada pendidikan ini. Sumbangan yang paling berarti bagi pendidikan adalah ikut menangani proses pendidikan itu sendiri dalam batas-batas kemampuan mereka masing-masing. Seperti diketahui, sistem ganda ini diadakan dalam rangka mengembangkan keterampilan para siswa. Pengembangan ini membutuhkan alat-alat belajar yang cukup banyak jumlah dan jenisnya. Sementara itu sebagian sebesar sekolah tidak memilikinya, yang merupakan salah satu hambatan utama bagi sekolah. Berkat uluran tangan para pengusaha, maka secara pelan-pelan alat-alat belajar ini bisa dipenuhi. Dalam sistem ini para siswa belajar di dua tempat yaitu di sekolah dan perusahaan.

Dampak lain dari keberhasilan pembangunan ekonomi secara makro adalah munculnya sejumlah sekolah unggul. Sekolah-sekolah ini didirikan oleh orang-orang kaya atau konglomerat atau kumpulan dari mereka, yang bertebaran di seluruh Indonesia. Sudah tentu kondisi sekolah seperti ini tentu dengan sekolah-sekolah pada umum. Sekolah ini lebih unggul dalam prasarana dan sarana pendidikan, lebih unggul dalam menggaji pendidik-pendidiknya. Program belajarnya lebih beragam atau lebih kaya dan mungkin proses belajarnya juga lebih baik. Hanya produksinya atau lulusannya belum dapat dikomentari sebab sekolah-sekolah itu baru mulai berdiri.

Pendapat masyarakat tentang sekolah unggul ini ada yang pro dan ada pula yang kontra. Hal seperti itu memang bisa terjadi terhadap sesuatu yang baru mulai berdiri. Sesungguhnya ditinjau dari niat baik para konglomerat atau orang kaya untuk mendirikan sekolah sudah merupakan keuntungan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Mengapa demikian? Karena bantuan dana dan mereka terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang sudah ada belum tampak secara berarti. Dengan mendirikan sekolah tersendiri, menunjukkan kepada kita bahwa sebagian dari penghasilan mereka sudah disumbangkan dalam wujud persekolahan. Memang sudah waktunya mereka menaruh perhatian kepada pendidikan, sebagai balas jasa terhadap republik, tempat mereka berusaha dan menjadi kaya. Diharapkan makin lama makin banyak sekolah unggul didirikan. Sehingga kelak tiba waktunya sekolah-seklah swasta akan lebih tinggi mutunya dari pada sekolah-sekolah negeri, seperti halnya dengan di negeri - negeri maju., Hal ini memang wajar sebab dana pendidikan dari pemerintah sangat terbatas.

Sekolah-sekolah unggul ini tetap diterima oleh negara maupun masyarakat, selama ia mengikuti atau tunduk kepada undang-undang. atau aturan pemerintah tentang pendidikan dan tidak menanamkan kebudayaan asing yang tidak cocok dengan kebudayaan Indonesia.
Walaupun kebijakan dan program sekolah ini tidak sama satu dengan yang lain, diharapkan mereka tidak pilih kasih menerima calon siswa. Artinya setiap calon dari manapun asalnya hendaklah diberi kesempatan yang sama asal mereka mampu membayar. Begitu pula proses belajar mengajar hendaklah lebih baik daripada seko1ah - sekolah pada umumnya, sehingga ia patut menjadi contoh ba sekolah-sekolah lain. Dan yang paling penting bisa menghasilkan lulusan yang bermutu serta tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional kita.

Sesudah membicarakan peran ekonomi secara makro, maka ada baiknya bila pembicaraan ini diteruskan dengan peran ekonomi secara mikro dalam kehidupan. Pada umumnya orang mengatakan kehidupan seseorang meningkat atau menurun selalu dikaitkan dengan perekonomian orang tersebut. Meningkat atau menurunnya kehidupan dimulai dari rumah yang dimiliki, jenis kendaraan yang dipakai, perhiasan atau macam pakaian yang biasa dipakai, menu makanan Sehari - hari, dan gaya hidup. Jarang sekali orang mengaitkan naik turunnya kehidupan dengan tingkat kedamaian hati, kebahagiaan keluarga, kejujuran, atau kesucian hidup seseorang. Pada hal kondisi manusia juga merupakan suatu kehidupan.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ekonomi itu memegang peeranan yang penting dalam kehidupan seseorang, walaupun orang itu sudah menyadari bahwa kehidupan yang gemerlapan tidak menghasilkan menjamin akan memberi kebahagiaan. Mereka pada umumnya seperti tidak punya kemampuan untuk menahan diri dari kemauan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Mereka bergelut untuk bisa meraih tingkat ekonomi yang lebih tinggi.
Persekolahan di Indonesia sebagian besar masih lemah ekonominya. Memang hampir semuanya sudah punya gedung, walaupun tidak megah, tetapi perlengkapan belajarnya masih minim. Juga kesejahteraan guru dan dosennya belum memadai. Lebih-lebih bagi guru di SD, keadaannya sangat menyedihkan sehingga sebagian terbesar dari mereka terpaksa mencari sambilan di luar untuk menutupi ekonominya. Hal ini bisa terjadi karena keterbatasan dana dari pemerintah maupun dari yayasan.

Walaupun tiap keluarga berusaha meningkatkan perekonomian, namun mereka tidak selalu berhasil, sebab keberhasilan itu ditentukan oleh banyak faktor. Akibatnya masih banyak keluarga yang di bawah garis kemiskinan. Dan bila secara kebetulan mereka diam paada lokasi yang sama, maka terjadilah suatu desa miskin. Desa-desa seperti ini masih cukup banyak jumlahnya di Indonesia.

Kemiskinan ini berdampak jelas pada pendidikan khususnya pembelajaran. Peserta didik dari keluarga kurang mampu umumnya tidak dapat menerima pembelajaran yang optimal. Selain waktu mereka banyak disibukkan bekerja membatu okenomi orang tuanya untuk makan dan biaya sekolah, media pembelajaranpun banyak yang tak terbeli sehingga pembelajaran di sekolah tidak bisa berjalan optimal seperti peserta didik yang mampu membeli buku.

Demikian pula di daerah terpencil terdapat satu masalah lagi yakni kurang tersedianya tenaga pengajar, lebih lebih tenaga pengajar yang baik mutunya. Hal ini dikarenakan para guru, lebih lebih yang punya kualitas mengajar baik enggan ditempatkan atau mengabdi di daerah daerah terpencil. Alasannya beragam, selain jarak yang ditempuh setiap harinya sangat jauh, media pembelajaran sangat minim, penghasilan yang didapatpun tidak sebanding dengan pengorbanannya.

Kabar baiknya saat ini pemerintah telah mebaca dan menyikapi masalah ini. Pemerintah memberikan tambahan penghasilan Rp. 1.500.000,- perbulan bagi para tenaga pengajar yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil. Secara nyata kebijakan ini memberikan motivasi pada para tenaga pengajar untuk berbondong-bondong memajukan pendidikan di daerah. Dengan jumlah tenaga pengajar yang memadai mutu pembelajaran dapat ditingkatkan.
Sertifikasi guru dan dana BOS, merupakan berita menggembirakan berikutnya bagi peningkatan mutu pembelajaran pada pendidikan di Indonesia. Selain peningkatan kesejahteraan guru, bidikan pemerintah dalam sertifikasi adalah peningkatan mutu tenaga pengajar di Indonesia. Dengan mutu tenaga pengajar yang baik serta perekonomian guru yang berlangsung baik diharapkan para tenaga pengajar dapat memberikan pembelajaran yang lebih baik.

Fungsi Produksi Ekonomi dalam Pendidikan
Sebelum membahas fungsi produksi ekonomi, ada baiknya kita bicarakan dulu bagaimana menghitung harga-harga input fungsi produksi.
1. Tentang prasarana dan sarana belajar berlaku ketentuan sebagai barang modal selama 25 tahun. Prasarana dan sarana tersebut sudah dipandang tidak punya harga. Karena bangunan ini makin lama makin tua, maka ia kena aturan depresiasi 1,5% sampai 2% per tahun, artinya harga bangunan itu akan turun setiap tahun sebesar 1,5% atau 2% dari harga awal atau harga sisa. Bila uang yang dipakai membangun adalah uang pinjaman maka bunga yang sesuai dengan aturan bank juga tuna diperhitungkan. Perhitungan-perhitungan seperti ini juga berlaku bagi kendaraan dinas. Mengenai perlengkapan belajar, media, alat-alat peraga, buku-buku, film, disket, dan sebagainya tidak ada ketentuan yang jelas tentang cara menghitung harganya. Namun demikian aturan di atas dapat pula diberlakukan pada barang-barang seperti ini.
2. Perhitungan harga barang-barang habis pakai cukup dilakukan dengan rnenghitung harga pembeliannya.
3. Tentang harga guru dan personalia sekolah lainnya dihitung dengan cara menjumlahkan gaji dan penghasilan penghasilan sah lainnya di sekolah. Hanya untuk guru honorer harganya dihitung berdasarkan waktu mengajarnya.

Sekarang kita teruskan dengan fungsi produksi yang ketiga yaitu fungsi produksi ekonomi. Input fungsi produksi ini adalah sebagai berikut :
1. Semua biaya pendidikan seperti pada input fungsi produksi administrator.
2. Semua uang yang dikeluarkan secara pribadi untuk kepeduan pendidikan seperti uang saku, transportasi, membeli buku, alat-alat tulis, dan sebagainya selama masa belajar atau kuliah.
3. Uang yang mungkin diperoleh lewat bekerja selama belajar atau kuliah, tetapi tidak didapat sebab waktu tersebut dipakai untuk belajar atau kuliah. Uang seperti ini disebut opportunity cost.

Sementara itu yang menjadi outputnya adalah tambahan penghasilan peserta didik kalau sudah tamat dan bekerja, manakala orang ini sudah bekerja sebelum belajar atau kuliah. Dan apabila ia belum pernah bekerja yang menjadi output-nya adalah gaji yang diterima setelah tamat dan bekerja.

Fungsi produksi ekonomi di atas dapat dipelajari dan diperhitungkan dengan seksama oleh para pengelola di setiap sekolah untuk merumuskan kurikulum pembelajaran muatan lokal yang seuai dengan kebutuhan lapangan di daerah itu, peningkatan kesejahteraan guru, dan strategi efisiensi dalam pelaksanaan pembelajaran siswa di sekolah itu. Selain dapat gunakan sebagai penunjang kelancaran pembelajaran, fungsi ekonomi dapat pula diberikan sebagai materi pelajaran untuk membentuk manusia ekonomi.

Penutup
Berdasar ulasan – ulasan tersebut dapat disarikan sebagai berikut, (1) Ekonomi pendidikan memegang peran cukup penting, walaupun bukan yang terpenting dalam pembelajaran. (2) Sumber dana pendidikan khususnya proses pembelajaran selain dari pemerintah juga berasal dari masyarakat, lembaga pendidikan, dan masih bisa digali sumber-sumber lain sebanyak mungkin. (3) Fungsi ekonomi merupakan penunjang kelancaran pembelajaran dan sebagai materi pelajaran untuk membentuk manusia ekonomi.


DAFTAR PUSTAKA
Buchori, Mochtar. 1996. “Menuju Madrasah Unggul.” Transformasi Pendidikan di Indonesia dan Tantangannya di Masa Depan. IKIP Muhammadiyah Jakarta Press: Jakarta.
Carpenter, et al.”The Analysis of Effectiveness” Sue A. Haggart, (editor). Program Budgeting for School District Planning. Educational Technology, New Jersey.
Kotler, Philip and Karen F.A. Fox, 1985, Strategic Marketing for Educational Institutions, Prentice-Hall, Inc. New Jersey.
Levin, Henry M. 1985, Cost-Effectiveness A Primer, Sage Publications, London.
Link and Match, 1993, Panitia Rapat Kerja Nasional, Dep. P dan K, Jakarta.
Made Pidarta. 1988. Manajemen Paguron, hasil penelitian, Laboratorium Administrasi Pendidikan, FIP, IKIP Surabaya, Surabaya.
Mutrofin. 1996. “Pendidikan, Ekonomi, dan SDM Produktif”, Transformasi Pendidikan di Indonesia dan tantangannya di Masa Depan, IKIP Muhammadiyah jakarta Press, Jakarta.
Panduan Rapat Kerja Daerah Perguruan Tinggi negeri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Biro Perencanaan, SWEkjen, Dep. P dan K, Jakarta.
Sanderson, Stephen K. 1991. Sosiologi Makro. Terjemahan oleh Farid Wajidi & S. Menno. 1993. Jakarta: Rajawali Pers.
Spring, Joel. 1989. American Education. New York: Longman.
Thomas, J. Alan, tt. The Produvtive School, Jhon Wiley dan Sons, Inc. New York.
Thut, I. N. & Adams, Don. 1984. Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer. Terjemahan oleh SPA Teamwork. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

KONSEP DESAIN BANGKU DAN KURSI SEKOLAH DASAR DI KOTA SURABAYA

Oleh Drs. Martadi, M.Sn
Penulis adalah Dosen Universitas Negeri Surabaya dan Penyunting Ahli Majalah Dwijakarya

Abstract
This study is meant to explain thoroughly the underlying concept of desks and chairs design for elementary schools in Surabaya, and to propose an alternative design concept which may be ideal for elementary school pupils. This study finds out that the design concept of desks and chairs for elementary school is very much affected by three educational matters, namely: the learning pattern that tends to be teacher-centered, too many pupils per classroom, and the school’s financial capabilities. These three matters have given impacts on the design concept of desks and chairs which tends to be conventional with such a traditionally-patterned classroom arrangement. The factors being considered during the process of designing the desks and chairs for elementary schools are closely, related with their natural and social-cultural environments, aesthetics, economy, function, and techniques. Those factors have significant impacts on the visual elements of those desks and chairs which can clearly be seen from their an materials, constructions, measurements, shapes, and colors.
Key Word: Design, Desks and chairs, Elementary schools


Pendahuluan
Pembaharuan sistem pendidikan nasional memerlukan perubahan berbagai komponen untuk memenuhi tuntutan proses pendidikan yang efektif dan efesien. Dalam hal ini, sarana pendidikan merupakan salah satu komponen penting dalam perbaikan sistem pendidikan nasional. Pentingnya sarana dalam peningkatan kualitas pendidikan tersebut, banyak ditunjukkan oleh beberapa penelitian seperti studi Suryadi (1993), Fuller (1987) menemukan bahwa alat dan sarana belajar memiliki efek positif terhadap prestasi belajar, semakin baik alat dan sarana pengajaran, semakin tinggi pula prestasi belajar murid. Secara lebih spesifik, studi yang dilakukan oleh Indra P.A, (1989), menunjukkan bahwa perabot memiliki peranan yang erat kaitannya dengan perkembangan fisik, psiko-emosional, dan sosial anak.
Berdasar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tujuan pendidikan dasar adalah memberikan bekal kemampuan dasar ‘Baca-Tulis-Hitung’, pengetahuan dan ketrampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya, serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan di SLTP. KTSP merupakan penyempurnaan kurikulum 2004, di antaranya mengalihkan beban materi ajar ke arah penguasaan konsep dan menekankan proses belajar yang berorientasi student-centered dengan pola belajar siswa aktif atau active learning.

Pola belajar siswa aktif menuntut ancangan ruang kelas terbuka, yang memiliki mobilitas dan fleksibilitas sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Di samping itu, kelas hendaknya menjadi tempat yang menyenangkan dan merangsang siswa untuk belajar (Utami, 1999). Berdasar pengamatan pola pembelajaran yang ada di SD saat ini masih cenderung berorientasi teacher-centered, dengan ancangan ruang kelas tradisional yang kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk terlibat secara aktif.

Perkembangan fisik anak usia sekolah (5-12 tahun) sangat pesat. Bangku dan kursi sekolah di desain untuk pemakainya, artinya apabila fisik anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia, tentunya ukuran bangku dan kursinya harus menyesuaikan. Namun, dalam kenyataan bangku dan kursi sekolah dasar dari kelas I sampai dengan kelas VI cenderung memiliki ukuran yang sama. Kondisi ini, akan berakibat terganggunya pertumbuhan fisik anak, dan mengurangi daya konsentrasi selama pembelajaran berlangsung, yang diakibatkan ketidaknyamanan selama duduk.

Berdasarkan latarbelakang tersebut, kajian ini mencoba menjelaskan secara menyeluruh konsep pemikiran yang mendasari perancangan bangku dan kursi sekolah dasar khususnya di kota Surabaya dan merumuskan alternatif konsep perancangan bangku dan kursi sekolah dasar yang ideal.

Kajian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, yang dalam istilah Burgess (1999) disebut strategi penelitian ganda yaitu penggunaan metode yang beragam dalam memecahkan suatu masalah penelitian. Pola penggabungan kedua pendekatan dalam penelitian ini adalah pemakaian hasil-hasil kualitatif untuk menjelaskan temuan-temuan penelitian berupa data kuantitatif.

Kajian ini mengambil kasus di kota Surabaya yang meliputi 5 wilayah kecamatan, yaitu Keputih, Benowo, Gayungan, Krembangan, dan Gubeng. Populasi dipilih 15 sekolah dengan pertimbangan letak geografis, status sekolah, dan tingkat kemajuan sekolah. Sumber data berupa bangku dan kursi sebagai sumber data utama, sumber lisan dari informan, serta dokumentasi tertulis dan foto. Data dikumpulkan dengan metode pengamatan, wawancara, angket dan studi dokumen. Untuk menjamin keterpercayaan data digunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif menggunakan analisis interaktif, yang meliputi langkah-langkah: reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.

Konsep Desain Bangku dan Kursi
Desain merupakan bentuk rumusan dari suatu proses pemikiran, dan merupakan wujud dari sebuah konsep seorang perancang. Pengertian konsep menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa konkrit. Sementara itu menurut Oxford Dictionary of Current English (1987:175) Concept is idea undelying a class of things. Dari dua pengertian di atas dapat jelaskan bahwa konsep itu merupakan ide dasar dari sebuah pemikiran, sehingga masih bersifat abstrak dan tidak dapat dilihat secara fisik, namun hanya dapat dirasakan keberadaannya. Konsep desain dapat diartikan sebagai ide dasar dari suatu pemikiran yang melandasi proses perancangan sebuah desain.

Dalam Galt Furniture (1999) dikemukakan terdapat 6 konsep perancangan desain bangku dan kursi, yaitu a) folding, b) stacking, c) portable, d) knock down, e) adjustable, dan f) combination. Berikut ini dipaparkan 6 konsep tersebut.
a. Folding yaitu suatu konsep desain bangku dan kursi yang dapat dilipat. Konsep ini lebih menekankan kepada upaya untuk meningkatkan efesiensi dalam hal pengangkutan atau penyimpanannya. (Sumber: Galt Furniture, 1999)
b. Stacking, yaitu konsep desain bangku dan kursi yang dapat ditumpuk. Seperti pada konsep folding konsep ini berupaya memudahkan dan menghemat ruang dalam hal penyimpanannya. (Sumber: Mein Eibe Katalog)
c. Portable, yaitu konsep desain bangku dan kursi yang menekankan kemudahan untuk dipindahkan atau mobilitas produk tersebut. Desain dengan konsep ini biasanya cukup ringan atau diberi roda pada bagian dasarnya sehingga mudah dipindahkan. (Sumber: Galt Furniture, 1999)
d. Knock down yaitu suatu konsep desain bangku dan kursi yang dapat dibongkar-pasang. Konsep desain ini biasanya berupa komponen-komponen secara terpisah yang bisa dibongkar pasang secara mudah dan cepat. Konsep ini lebih menekankan pertimbangan efesiensi untuk penyimpanan maupun pengangkutan. (Sumber: Galt Furniture, 1999)
e. Adjustable yaitu suatu konsep desain bangku dan kursi yang dapat disetel atau disesuaikan dengan kebutuhan pemakai. Konsep ini banyak diterapkan pada kursi kantor yang bisa diatur sedemikian rupa, untuk mendapat posisi duduk yang nyaman sesuai aktivitas yang dilakukan. (Sumber: Mein Eibe Katalog)
f. Combination (modular) yaitu suatu konsep desain bangku dan kursi yang terdiri dari modul-modul (bagian-bagian) yang bisa dirangkai atau disusun sesuai dengan kebutuhan pemakai. (Sumber: Galt Furniture, 1999)

Ergonomi dan Anthropometri dalam Perancangan Bangku dan Kursi
Aspek-aspek ergonomi dalam suatu proses rancang bangun fasilitas kerja adalah merupakan suatu faktor penting dalam menunjang peningkatan pelayanan jasa produksi. Terutama dalam hal perancangan ruang dan fasilitasnya. Perlunya memperhatikan faktor ergonomi dalam proses rancang bangun fasilitas sekolah sekarang ini merupakan sesuatu yang tidak dapat ditunda lagi. Hal tersebut tidak akan terlepas dari pembahasan mengenai ukuran anthropometri tubuh maupun penerapan data-data anthropometrinya.

Anthropometri menurut Stevenson (1989) dan Nurminato (1991) adalah kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain. Lebih lanjut Stevenson (1989) dan Nurmianto (1991), menjelaskan bahwa perbedaan data anthropometri suatu populasi dengan populasi lain sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: keacakan/ random, jenis kelamin, suku bangsa, usia, jenis pekerjaaan, pakaian, faktor kehamilan, dan cacat tubuh secara fisik.

Anthropometri ialah persyaratan agar di capai rancangan yang layak yang berkaitan dengan dimensi tubuh manusia, yang meliputi:
a. Keadaan, frekuensi dan kesulitan dari tugas pekerjaan yang berkaitan dengan operasional dari peralatan.
b. Sikap badan selama tugas-tugas berlangsung
c. Syarat-syarat untuk kemudahan bergerak yang ditimbulkan oleh tugas-tugas tersebut.
d. Penambahan dalam dimensi-dimensi kritis dari desain yang ditimbulkan akibat kebutuhan untuk mengatasi rintangan, keamanan dan lainnya.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai penggunaan data anthropometri ini, maka sering dikenal istilah “The Fallacy of the Average Man or Average Woman” yaitu istilah untuk mengatakan bahwa merupakan suatu kesalahan dalam perancangan suatu tempat kerja ataupun produk jika berdasar pada dimensi hipotesis yaitu menggangap bahwa semua dimensi adalah merupakan rata-rata. Walaupun hanya dalam penggunaan satu dimensi saja, seperti misalnya jangkauan kedepan (forward reach), maka penggunaan rata-rata (50 percentil) dalam penyesuaian pemasangan suatu alat kontrol akan menghasilkan 50 % populasi akan tidak mampu menjangkauanya. Selain dari itu, jika seseorang mempunyai dimensi pada rata-rata populasi, katakanlah tinggi badan, maka belum tentu, bahwa dia berada pada rata-rata populasi untuk dimensi lainnya.

Linda Cain Ruth dalam bukunya Design Standards for Children’s Environment (1999: 3-14) membahas secara lebih spesifik data anthropometri anak usia sekolah (5-12 tahun) sebagai acuan perancangan sarana yang diperuntukkan anak-anak. Lebih lanjut Linda Cain Ruth (1999: 23-27) menjelaskan penggunaan data anthropometri untuk menentukan dimensi standar dalam merancang bangku dan kursi untuk anak usia sekolah dasar (5-12 tahun).

Pendekatan dalam Perancangan Kursi
Duduk memerlukan lebih sedikit tenaga dari pada berdiri, karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seseorang yang bekerja sambil duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara potensial lebih produktif. Namun sikap duduk yang keliru akan merupakan penyebab adanya masalah-masalah punggung, sebab tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring.

Perancangan kursi kerja harus dikaitkan dengan jenis pekerjaan, posture yang diakibatkan, gaya yang dibutuhkan, arah visual (pandangan mata), dan kebutuhan akan perlunya merubah posisi (postur). Kursi tersebut haruslah terintegrasi dengan bangku atau meja yang sering dipakai.
Kursi untuk kerja dengan posisi duduk adalah dirancang dengan metoda ‘floor-up’ yaitu dengan berawal pada permukaan lantai, untuk menghindari adanya tekanan di bawah paha. Sebaiknya tidak memasang pijakan kaki (foot-rest) yang juga akan mengganggu ruang kerja kaki dan mengurangi fleksibilitas postur/posisi. Setelah ketinggian kursi didapat kemudian barulah menentukan ketinggian meja kerja yang sesuai dan konsisten dengan ruang yang diperlukan untuk paha dan lutut. Jika meja dirancang untuk tetap (tidak dapat dinaik-turunkan), maka perancanan kursi hendaklah dapat dinaik turunkan sesuai dengan ketinggian meja, sehingga perlu adanya pijakan kaki (foot-rest).

Menurut Nurmianto, (1998) dalam sistem pengembangan produk kursi, terdapat beberapa kriteria yang harus diperhatikan, antara lain: 1) stabilitas produk, 2) kekuatan produk, 3) mudah dinaik-turunkan, 4) sandaran punggung dirancang agar dapat digerakkan naik-turun maupun maju-mundur. 5) bahan material cukup lunak, 6) kedalaman kursi sesuai dengan dimensi panjang antara lipatan lutut (popliteal) dan pantat (buttock), 7) lebar kursi minimal sama dengan lebar pinggul wanita 5 percentil populasi, 8) lebar sandaran punggung sama dengan lebar punggung wanita 5 percentil populasi, 10) bangku tinggi harus diberi pijakan kaki yang dapat digerakkan naik-turun.

Analisa Desain Bangku dan Kursi Sekolah dasar di Kota Surabaya
Hasil analisis secara empirik di lapangan menunjukkan temuan, bahwa perancangan bangku dan kursi sekolah dasar di kota Surabaya sangat dipengaruhi oleh tiga persoalan mendasar pendidikan yaitu 1) pembelajaran yang cenderung berpola ‘teacher-centered’; 2) besarnya jumlah siswa per kelas yaitu 38 siswa per kelas; dan 3) terbatasnya kemampuan finansial sekolah. Ketiga persoalan tersebut berdampak terhadap konsep desain bangku dan kursi yang cenderung konvensional dengan pola ancangan kelas tradisional.

Terdapat lima konsep desain bangku dan kursi sekolah dasar di kota Surabaya, yaitu portable, combination, multi function, pragmatis, dan integrated. Secara umum konsep desain bangku dan kursi sekolah dasar masih cenderung konvensional. Sekolah dasar swasta dan sekolah yang maju rata-rata memiliki konsep desain bangku dan kursi lebih baik (jelas) dibanding sekolah dasar negeri dan sekolah yang kurang maju.

Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam proses perancangan desain bangku dan kursi sekolah dasar, antara lain berkaitan dengan lingkungan alam dan sosial budaya, estetis, ekonomi, fungsi maupun teknik. Secara signifikan faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap unsur visual (fisik) bangku dan kursi, dilihat dari aspek material, konstruksi, ukuran, bentuk, warna, dan dekorasi. Material bangku dan kursi yang dipakai berupa kayu, multiplek dan besi. Dari jenis material tersebut, kayu merupakan pilihan material yang paling banyak dipakai dengan pertimbangan keawetan, kualitas, dan perawatan.

Pilihan konstruksi bangku dan kursi secara umum relatif sesuai dengan jenis material yang digunakan, kekuatan produk dan keamanan untuk anak. Konstruksi yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu: 1) konstruksi untuk material kayu, 2) konstruksi untuk material besi, dan 3) konstruksi untuk material campuran (kayu, multiplek, atau besi). Jenis konstruksi yang banyak digunakan adalah konstruksi untuk material kayu.

Ukuran bangku dan kursi sekolah dasar belum memiliki pola standar sesuai anthropometri anak. Bila dibandingkan dengan standart Design Standart for Children Environment (DSCE), ukuran bangku SD yang meliputi dimensi tinggi, dan lebar, menunjukan hasil sebagai berikut: ukuran bangku lebih tinggi 14,7 cm, lebar bangku kurang lebar 5,2 Cm. Sementara ukuran kursi SD yang meliputi dimensi panjang, lebar, dan tinggi, menunjukkan hasil sebagai berikut: panjang kursi lebih panjang 24,2 Cm, lebar kursi kurang lebar 4,3 Cm, dan tinggi kursi kurang tinggi 10,7 Cm.

Desain bangku sekolah dasar memiliki 4 bentuk dasar, yaitu persegi panjang, persegi empat, setengah lingkaran, dan trapesium. Bentuk bangku yang paling banyak berupa persegi panjang. Desain kursi memiliki dua bentuk dasar, yaitu persegi panjang dan persegi empat.
Desain bangku dan kursi sekolah dasar di kota Surabaya memiliki tiga teknik pewarnaan yaitu politur, cat, dan melamik (lapisan plastik). Dari tiga jenis tersebut, warna netral paling banyak digunakan oleh sekolah. Temuan penelitian juga menunjukan bahwa tingkat kemajuan sekolah ber pengaruh cukup siqnifikan terhadap konsep desain bangku dan kursi. Semakin maju sekolah konsep desain bangku dan kursinya rata-rata lebih baik dibanding sekolah yang kurang maju. Sementara letak geografis sekolah tidak berpengaruh terhadap konsep desain bangku dan kursi sekolahnya.

Status dan tingkat kemajuan sekolah menunjukkan pengaruh terhadap variasi ukuran bangku dan kursi pada tiap tingkatan (kelas I—VI). Sekolah swasta dan sekolah yang maju memiliki ukuran bangku dan kursi yang relatif lebih bervariasi.

Status sekolah menunjukkan pengaruh terhadap variasi bentuk bangku dan kursi. Sekolah negeri memiliki bentuk bangku yang cenderung persegi panjang, sedangkan sekolah swasta memiliki bentuk bangku yang lebih variatif, antara lain: persegi panjang, persegi empat, trapesium dan setengah lingkaran. Kursi di sekolah negeri memiliki kecenderungan berbentuk persegi panjang (1 kursi untuk 2 anak), sedangkan kursi di sekolah swasta rata-rata berbentuk persegi empat (1 kursi untuk 1 anak).

Tingkat kemajuan sekolah tidak menunjukkan pengaruh terhadap bentuk bangku sekolahnya, artinya sekolah yang maju atau kurang maju bangkunya memiliki bentuk tertentu, tetapi menunjukkan pengaruh terhadap bentuk kursi. Sekolah yang maju cenderung memiliki bentuk kursi persegi empat (1 kursi untuk 1 anak), sedangkan sekolah yang kurang maju cenderung memiliki bentuk kursi persegi panjang (1 kursi untuk 2 anak).

Penutup
Berdasar hasil analisis data empirik dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut: Pertama, desain memiliki peran yang penting dalam membantu memecahkan persoalan pendidikan terutama untuk efektifitas tercapainya tujuan. Untuk itu, idealnya konsep desain perabot harus dikembangkan berdasar persoalan mendasar pendidikan; Kedua, bangku dan kursi sebagai salah satu komponen pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pencapain tujuan pembelajaran. Dengan demikian, konsep perancangan bangku dan kursi juga harus berorientasi kepada pola pembelajaran yang di gunakan di sekolah; Ketiga, paradigma baru pembelajaran lebih berorientasi ‘student-centered’ yang bercirikan kepada cara belajar siswa aktif atau ‘active learning’.

Berdasar simpulan di atas dapat dirumuskan rekomendasi sebagai berikut: Pertama, dalam upaya meningkatkan efektifitas pembelajaran, perlu dilakukan perubahan paradigma pembelajaran dari pola teacher-centered ke arah pembelajaran yang berbasis student-centered; Kedua, pembelajaran yang berbasis student-centered mempersyaratkan ancangan ruang kelas yang bersifat terbuka, memiliki mobilitas dan fleksibilitas, dan memberikan suasana fun. Untuk itu, idealnya konsep perancangan bangku dan kursi sekolah dasar harus memenuhi prinsip portable, dan modular. Ketiga, alternatif konsep perancangan desain bangku dan kursi sekolah dasar yang ideal harus memperhatikan aspek-aspek berikut: material cukup kuat, tahan lama, aman, tidak terlalu berat, mudah di dapat lingkungan setempat, dan sesuai karakter anak serta lembaga pendidikan, yaitu aktif, kreatif, polos, riang, jujur dan formal; bentuk menggunakan prinsip modular dan portable sehingga mudah di diatur sesuai kebutuhan dan mempertimbangkan fungsi media; konstruksi sesuai dengan material, kuat, mudah diproduksi massal, dan aman bagi anak; ukuran didasarkan pada anthropometri dan fungsi tubuh anak; warna disesuaikan dengan psikologi persepsi, dan karakter anak.


DAFTAR PUSTAKA

Bayley, N. 1965. Research in Child Development: A Longitudinal Perspective. Merrill-Partner Quarterty, II: 183—208.
Brannen, Julia. 1999. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (terjemahan N. Arfawie Kurde, dkk), Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda.
Bridger, R.S. 1995. Introduction to Ergonomics, McGraw Hill.
DePorter, B., Reardon, M. & Nourie, S. S. 2000. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas, (terjemahan Penerbit Kaifa), Bandung: Penerbit Kaifa.
DePorter, B. & Hernacki, M. 2001. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, (terjemahan Penerbit Kaifa), Bandung: Penerbit Kaifa.
Departemen Pendidikan Nasional, Studi Standarisasi Bangunan dan Perabot Sekolah Menengah Umum. Laporan Penelitian kerjasama antara Direktoral Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Umum dengan Institut Teknologi Bandung, Jakarta: Depdiknas, tanpa tahun.
Fuller, Bruce. 1987. What School Faktors Raise Achievement in the Third World. Dalam Review of Educational Research No. 57 (3).
Galt Furniture. 1999. The Complete Furniture Range For Playgroups, Nurseries and Primary Schools, Tanpa kota.
Gordon , D. & Dr. Jeannette, V. 2000. The Learning Revolution: Revolusi Cara Belajar, Bagian I: Keajaiban Pikiran, (terjemahan Penerbit Kaifa) Bandung: Penerbit Kaifa.
_________. 2000. The Learning Revolution: Revolusi Cara Belajar, Bagian II: Sekolah Masa Depan, (terjemahan Penerbit Kaifa) Bandung: Penerbit Kaifa.
Grandjean, E. 1986. Fitting the Task to the Man, Taylor & Francis Press.
Heskett, John. 1986. Desain Industri, (terjemahan Chandra Johan dan disunting Agus Sachari) Jakarta: CV. Rajawali.
Kolt, Knut. 1983. Product Innovation Mannagement (ed. 2th), Butterworth.
Heyneman. 1989. Improving The Quality of Schooling in Developing Countries. Finance and Development Vol. 20 March. PP 15—21.
IG.A.K. Wardhani, dkk. 1999. Dasar-dasar Kependidikan di Sekolah Dasar,Jakarta: Universitas Terbuka.
Jiyono. 1999. Studi Kemampuan Guru IPA Sekolah Dasar. Puslit Balitbang-Dikbus.
Jones, J.C. 1970. Design Methods, Seeds af Human Futures, London: Wiley Interscience.
_________ . 1983. Design Method, London: John Wiley & Son.
Kristianto, M. G. 1995. Teknik Mendesain Perabot yang Benar, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Krogman, W.M. 1970. Growth of Head, face, trunk, and Limbs in Philadelphia White and Negro Children of Elementari ang high School Age. Monographs of the Society for Research in Child Development, 1970: 35.
Lawson, B. 1983. How Designer Think. London: Architectural Press.
Linda, C. R. 1999. Design Standards For Children’s Environments, New York: McGraw-Hill.
Mandal, A.C. 1981. The Seated Man (homosedens): The Seated Work Position, Theori and Practice. Applied Ergonomics, 12 (1), 19—26.
Martadi. 2000. Kajian Desain Alat Pengajaran untuk Kelas I dan II Sekolah Dasar. Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri Banjarsari Kecamatan Sumur Bandung Kota Bandung, Laporan Penelitian Proyek Desain I, Program Magister Seni Rupa Desain, ITB.
Nurmianto, Eko. 1998. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: Guna Widya.
________ . 1991. Desain Stasiun Kerja Industri: Tinjauan Ergonomi dalam Industri. Proceedings Seminar Nasional Desain Produk Industri. FTI-FTSP ITS. Surabaya.
________ . 1989. Fitting the UNSW Facilities to the Various Student Posture Ergonomics Projects. School of Mechanical and Industrial Eginering. The University of New South Wales Sydney.
Suryadi, Ace. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.